Minggu, 03 Agustus 2008

Kita Memang Tak Pernah Bersama

Kita memang tidak pernah bersama-sama, itulah kenapa kita tidak pernah bisa. Untuk bisa adalah soal sederhana. Sepanjang kita bersama-sama. Tetapi untuk bisa bersama itulah kesulitan kita yang sebenarnya. Di Indonesia, mudah sekali menjumpai ibu membuang bayinya, ayah menjarah kehormatan putrinya, dan pekerja menjarah rumah majikannya. Maka jika cuma seorang keponakan bertengkar secara politik dengan pamannya, itu pasti bukan soal istimewa. Jika sebuah partai memecah diri dan membentuk sempalan karena kecewa, pasti telah menjadi barang jamak belaka.

Akhirnya kebersamaan adalah barang paling langka di
Indonesia. Itulah kenapa untuk membangun seruas jalan tol saja, yang lama bukan pembangunanya melainkan pertengkarannya. Apapun sebutannya, entah itu negosiasi, sosialiasasi, ganti rugi... semuanya mudah sekali menjadi penyulut pertengkaran. Jalan tol itu seberapapun panjangnya, ia tetaplah seruas saja di hadapan kepentingan bersama. Tetapi merasa memiliki kepentingan bersama itulah yang kita tidak pernah punya.

Darimana munculnya perasaan yang rawan permusuhan ini? Darimana lagi jika bukan dari rendahnya perasaan saling mempercayai. Sulit saling percaya karena memang sulit sekali mencari pihak yang dipercayai. Bukan tidak ada, tetapi sulit! Yang mudah adalah mencari pihak yang memainkan integritas pribadinya demi keuntungannya sendiri. Dan pihak yang semacam ini, celakanya tak perlu dicari karena dengan mudah ia menampakkan diri.

Mereka bisa muncul di loket-loket fasilitas umum. Dalam pelayanan yang penuh ongkos siluman dan konspirasi. Itulah kenapa pelanggaran dan kesalahan menjadi tidak penting karena melanggar dan membuat kesalahan adalah keputusan yang bisa dinegosiasikan. Dan kita bisa tercengang melihat daftar negosisasi itu memenuhi sekujur ruang mulai dari lembaga tinggi negara sampai lembaga agung negara. Bahkan yang tinggi dan yang agung itu kini yang menjulang cuma tinggal nama-nama mereka. Di kedalaman, mereka mendatangkan sekali kepada publik, sikap kecewa dan rasa tak percaya.

Akhirnya inilah faktanya, bukan kebisaan yang menjadi persoalan kita, tetapi kebersamaan itulah kesulitan utamanya. Lalu dengan undangan apakah agar kebersamaan itu mau kembali mendatangi kita lagi? Mudah saja karena ia cukup diundang dengan kejujuran. Tetapi kita tahu, apakah undangan sederhana ini bisa diperagakan oleh para pemimpin kita.

Tidak ada komentar: