Kamis, 22 Januari 2009

Krisis Global Vs Krisis Pribadi


Krisis ekonomi global, secara tidak langsung sudah kita bawa menjadi krisis pribadi. Betapa tidak. Membaca koran tentang krisis global di Amerika mengingatkan kita tentang krisis bangsa Indonesia di tahun 1998, dimana banyak bank tutup, PHK di mana-mana, terjadi banyak pengangguran, keadaan politik yang tidak stabil, kerusuhan. Kejadian di tahun 1998 menjadi trauma bagi kita dan kejadian di Amerika saat ini seakan membawa trauma itu kembali dalam hidup kita.

Kita sudah membayangkan kesulitan demi kesulitan yang sama yang akan terjadi padahal sesungguhnya belum kita alami. Hanya dalam pikiran kita, belum terjadi secara kenyataan. Tapi secara psikis, kita sudah merasakan apa yang seakan pasti terjadi; sepinya dagangan - uang yang semakin ketat - PHK - kredit macet, belum lagi ditambah pemilu di tahun yang sama, tahun 2009 mendatang. Ada rasa waswas kita akan menjadi bagian dari orang-orang yang di-PHK, rasa waswas akan terulang kembali kejadian yang sama dengan tahun 1998. Perasaan yang tadinya semangat dan optimis dalam bekerja kini berubah menjadi pesimis dan waswas penuh curiga, jangan-jangan kita yang di-PHK. Jangan-jangan bonus berkurang, jangan-jangan tahun depan tidak ada kenaikan gaji, jangan-jangan ...... seribu satu pikiran ‘jangan-jangan' dan berbagai prediksi yang berakhir pada kecemasan. Mereka yang buka usaha sendiri mulai merasa cemas karena tahun 2009 ‘kelihatan' akan sepi dagangan, banyak yang di-PHK, uang menjadi ketat, dan seterusnya.

Tanpa sadar, secara psikis kita menjadikan apa yang belum terjadi menjadi kenyataan, paling tidak kita sudah merasakan perasaan waswas dan pesimis itu secara nyata padahal kejadian-kejadian tersebut belum terjadi. Hal ini akan berpengaruh langsung pada produktifitas kerja sehari-hari. Kesibukan di akhir tahun berubah menjadi kesibukan super extra untuk menghadapi kesulitan di tahun 2009 nanti. Business plan yang disusun bukan lagi tentang bagaimana mengembangkan profit dan mencapai target, tapi lebih pada bagaimana untuk bertahan. Masing-masing personal kembali ke rumah dengan membawa serta perasaan waswas tadi, sambil bersiap diri menghadapi tahun 2009 yang penuh tantangan.

Kumpul keluarga yang biasanya ceria mulai berkurang ketika kepala keluarga mulai membawakan misi bersiap diri tadi. Makan malam dimembahas tentang ‘rencana' krisis yang bakal terjadi di tahun mendatang. Perlu berhati-hati memakai uang, banyak usaha yang bakal tutup, bakal terjadi PHK, bakal banyak pengangguran, keamanan yang mulai bergoyah, dan seterusnya, dan seterusnya. Suatu ajakan untuk berhati-hati diakhiri dengan rasa cemas dan pesimis menghadapi pergantian tahun. Istri yang selama ini mengurusi keuangan rumah ikut merasa was-was dalam berbelanja. Anak-anak mulai merasakan cemas karena uang jajan akan berkurang, rasa tidak aman di jalan, dan pesimistis dari kedua orangtuanya.

Krisis global-pun kini beralih menjadi krisis keluarga.

Seorang ayah yang tadinya banyak bercanda sekarang mulai banyak mengkerutkan dahi. Ibu yang tadinya banyak senyum sekarang mulai berkeluh kesah. Supir dan pembantu jadi kena sasaran, akhirnya ikut-ikutan mengumpat sana sini. Anak-anak apalagi.

Perasaan berpengaruh besar terhadap pikiran seseorang. Ketika rasa cemas mulai menjalar, yang ada hanyalah ‘how to survive', bagaimana bertahan agar tetap aman, tidak cemas. Orang itu akan sibuk berpikir bagaimana agar bisa lolos dari perasaan tidak nyaman tersebut, berdasarkan perasaan tidak nyaman pula. Ibarat mencari jalan keluar dari rimba kecemasan dengan kacamata cemas, tentu yang dilihat adalah cemas selalu; orang-orang yang cemas, urusan yang mencemaskan, kesempatan yang mencemaskan. Akibatnya menutup diri terhadap berbagai kesempatan di luar lingkaran itu, banyak peluang yang terlewatkan hanya karena ketidakmampuan untuk melihat secercah sinar terang melalui kacamata yang sudah keburu ditutupi kecemasan tadi.

Umumnya bila satu orang merasa cemas (termasuk waswas dan pesimis), orang-orang di sampingnya akan siap membantu, entah saat orang tersebut minta bantuan ataupun ketika orang di sampingnya melihat kebutuhan dibantu tadi. Tapi, ketika kecemasan yang tadinya hanya dimiliki oleh beberapa orang mulai menjadi collective anxiety, siapa yang bantu siapa? Jangan jangan satu sama lain malah saling mencemaskan ...

Hahhh ... saya membayangkan bagaimana kita akan menutup tahun 2009 nanti. Pada bulan Desember 2009, ketika kita melihat kembali apa yang telah dilakukan sepanjang tahun 2009 ... apa yang akan kita katakan? Kemenangan? Atau keberhasilan? Berhasil? Berhasil bertahan? Berhasil memenangkan? Atau jangan-jangan, berhasil ikut-ikutan ....

Terus terang, ada banyak yang mencemaskan dan membuat waswas .. waswas karena banyak rekan yang sudah mulai pesimis, banyak rekan yang sudah mulai waswas menghadapi tahun 2009 nanti. Saya cemas atas kecemasan mereka. Cemas dan was..was.. atas realitas.

Dalam setiap kesempitan selalu ada kesempatan. Di balik tantangan selalu ada peluang. Tinggalkanlah kacamata kecemasan tadi, rubah dengan semangat membangun bersama. Paling tidak, semangat untuk tetap optimis.

Semoga, optimisme ini menular secepat rasa cemas itu menulari satu sama lain.

Paling tidak, ingatlah akan satu hal. Bahwa krisis global bukanlah krisis pribadi. Jangan sampai itu terjadi. Semoga.

Tidak ada komentar: