Sabtu, 22 Agustus 2009

ECCLESIA REFORMATA SEMPER REFORMANDA

7 Dilema, 7 Keseimbangan, 7 Prinsip Pembaruan & 7 Strategi Pembaruan

GEJALA BELAKANGAN DALAM TUBUH PROTESTANTISME

Pergumulan yang berawal dari beberapa kenyataan yang amat jelas terpampang di depan mata. Saya ingin memberi dua contoh paling penting.

1. Heterogenisasi dan Homogenisasi

Pertama, di satu sisi, kita menyaksikan terjadinya heterogenisasi, pemajemukan, pemer­kayaan warna teologis gereja-gereja reformatoris, baik dengan segi ajaran, ibadah maupun etika. Saya memahami ini memang sudah menjadi konsekuensi dari salah satu prinsip utama Protestant­isme, yaitu sola scriptura (hanya oleh Alkitab), yang sejak zaman Luther membuat umat bisa membaca Alkitabnya sendiri dan memberikan refleksi pribadi atasnya. Otoritas hirarki gerejawi (Paus) ditentang dan terjadilah demokratisasi pembacaan Alkitab. Alhasil, orang-orang Protestan tak memiliki hirarki legal yang memiliki otoritas untuk mengawasi dan mengontrol ajaran yang berkembang. Selama ratusan tahun hingga kini kemudian terbentuklah keberagaman cara dan isi penafsiran Alkitab. Dan ketika keberagam­an ini tidak bisa diakomodasi, maka terjadilah perpe­cahan dan perpisahan. Maka tak heran jika dalam bagan gereja sedunia, pihak Protestanlah yang paling banyak memiliki anak-anak cabang yang independen.

Di sisi lain, sebagai reaksi atas kenyataan di atas, saya melihat adanya usaha untuk justru melakukan homogenisasi, standardisasi, pemutlakan teologi tunggal oleh banyak pihak di kalangan gereja-gereja Protestan. Tak jarang kita mendengar ungkapan, “Inilah doktrin yang paling benar, paling alkitabiah!” dan segera dibarengi dengan ungkapan lain, “Apa yang tidak sesuai dengan ajaran ini berarti sesat dan tidak alkitabiah!” Gejala ini dalam skala ekstrim memunculkan fundamentalisme, yaitu suatu cara pandang yang mengabsolut­kan satu perspektif dengan cara mengkafirkan perspektif lain yang tidak sesuai dengan dirinya.

Pertengkaran antargereja yang terjadi di lapisan para pejabat maupun umat akhir-akhir ini, terbuka atau hanya saling sindir, sebenarnya menunjukkan adanya ketegangan dan dilema antara ortodoksi dan heterodoksi, antara kelurusan ajaran dan kewarna-warnian ajaran. Di sisi mana kita harus berdiri?

2. Pelembagaan dan Revivalisasi-Sepotong

Kedua, saya mengamati pula kecenderungan adanya ketegangan antara pelembagaan gereja reformatoris arus utama (mainstream churche) di satu sisi dan pembangkitan kemba­li gereja secara sepotong dalam dimensi-dimensi yang amat terbatas di sisi lain.

Gereja-gereja arus utama, terlalu disibukkan dengan usaha mengorganisasi diri dan dengan demikian kehilangan semangat mula-mula. Segala sesuatu yang terjadi di gereja diukur dari kecocokannya dengan peraturan dan sistem organisasi. Dengan demikian gereja sebagai organisme berubah menjadi organisasi. Gerakan menjadi lembaga. Pada titik ini apa yang sudah menjadi warisan masa lalu menjadi baku, beku dan baka

Di sisi lain, cabang Protestantisme yang dimulai oleh Pentakostalisme dan bergerak menu­ju neo-Pentakostalisme (Kharismatisisme) dan bahkan neo-neo-Pentakostalisme (neo-Kharis­matis­isme) mengalami kebangunan rohani besar-besaran, yang sayangnya terlalu timpang menekan­kan pengalaman rohani (spiritual experiences) dan cenderung meng­abaikan hal-hal penting lain, seperti doktrin dan etika. Dalam hal ajaran (doktrin), terjadi ketidakteraturan teologis. Seorang pemimpin bisa memiliki pandangan apa saja, seaneh apapun, asal mendukung pengalaman rohaninya dan didukung oleh umat yang mengidola­kannya secara fanatik. Dalam hal etika, kita melihat gerakan ini amat miskin dalam paham dan praktik teologi sosialnya (peran gereja di dalam masyarakat – etika sosial), maupun dalam paham dan praktik teologi ekumenenya (kebersamaan antargereja). Dalam hal etika sosial, mereka cenderung melarikan diri dari tugas kenabian. Sedang dalam hal etika ekumene, mereka tampak kurang peduli pada perasaan gereja-gereja lain.

TUJUH MASALAH UTAMA

Dua gejala di atas hanyalah contoh tentang apa yang tengah terjadi di tubuh gereja-gereja Protestantisme. Sebuah buku bagus berjudul The Re-forming Tradition, karangan Milton J. Coalter, John M. Mulder dan Louis B. Weeks, menunjukkan bahwa gejala-gejala ini bisa dike­lom­pokkan menjadi tujuh masalah utama. Namun ketujuh masalah tersebut mungkin tidak semuanya relevan untuk konteks Indonesia. Saya berusaha untuk menyesuaikannya dalam konteks kita kini dan di sini.

1. Penafsiran Alkitab

Ada dilema antara tugas mempertahankan otoritas Alkitab yang dipandang kekal di satu sisi dan tuntutan untuk memberi penafsiran yang lebih kontekstual di sisi lain. Tekanan berlebihan pada sisi pertama memunculkan fundamentalisme dengan prinsip ineransi (Alkitab tak mungkin salah pada naskah asli dalam segala hal), yang tidak peka dan terlalu konfrontatif serta over-reaktif pada isu-isu aktual. Tekanan berlebihan pada sisi kedua dapat memunculkan keraguan pada otoritas Alkitab karena semua teks harus ditafsir secara baru. Yang pertama membuat gereja sekedar mempertahankan teologi para reformator abad ke-16, sebagaimana ditunjuk­kan misalnya oleh kelompok reformed. Sedang yang kedua dimun­culkan oleh banyak teolog lulusan STT yang didukung Gereja.

2. Tugas pada Dunia

Ada dilema antara tugas melakukan pekabaran Injil secara pribadi kepada dunia dan tugas melakukan pelayanan sosial untuk memperbarui masyarakat. Yang satu bisa menjurus pada sikap terlalu menekankan aspek individual-rohani, yang lain pada sikap terlalu menekankan aspek sosial-jasmani.

3. Kuasa dan Otoritas

Ada dilema antara prinsip bahwa setiap orang bertanggung jawab atas keputusan pribadinya dan prinsip bahwa gereja memegang tugas dan tanggung jawab untuk mengatur dan menyeragamkan pemahaman teologis. Yang satu membuat kekristenan jadi agama personal, yang lain membuat kekristenan sekedar menjadi agama komunal.

4. Ekumenisme dan Denominasionalisme

Ada dilema antara tugas mempersatukan gereja-gereja menjadi satu tubuh secara organi­satoris dan tugas untuk menghargai kepelbagaian denominasi yang ada. Yang satu menjurus pada penyeragaman, yang lain menjurus pada pengkotak-kotakan yang terpisah-pisah.

5. Katolisitas dan Kontekstualitas

Ada dilema antara tugas memperjuangkan sifat am (katolik) dari gereja sehingga dasar bersama amat ditekankan dan tugas menerjemahkan iman dalam konteks yang khusus di mana gereja hadir.

6. Doktrin dan Pengalaman Rohani

Ada dilema antara tugas menjaga sistem ajaran di satu sisi dan tugas untuk mengem­bangkan kesempatan umat mengalami pengalaman rohani yang berarti. Yang pertama ditekankan secara berlebihan oleh kelompok yang mengaku diri injili, yang lain terlalu ditekankan secara berlebihan oleh gereja-gereja yang beraliran pentakostal dan kharismatik.

7. Eksklusivisme dan Universalisme

Ada dilema antara tugas mempertahankan prinsip keselamatan di dalam Kristus di satu sisi dan tugas mempertahankan pesan universal keselamatan yang Allah berikan. Yang satu bisa memunculkan eksklusivisme yang kemudian mengabsolutkan prinsip “keselamatan di dalam Kristus” menjadi doktrin “keselamatan sati-satunya melalu Kristus.” Yang lain me­mun­­culkan paham universalisme yang menghargai jalan keselamatan dalam agama-agama lain.

KEMBALI PADA SEMANGAT MULA-MULA

Dilema dan persoalan di atas membuat kehidupan gereja-gereja Prostestant tak pernah sepi dari perdebatan, konflik dan pertikaian. Di mana posisi gereja arus utama? Di mana gereja-gereja arus utama ketika terjadi konflik antara fundamentalisme-liberalisme, antara kesaksian rohani dan pelayanan sosial, antara eku­me­n­isme dan denominasionalisme, antara ortodoksi dan ortopietas, antara eksklusivisme dan universalisme?

Saya semakin berkeyakinan bahwa di tengah banyak dilema di atas ada dua prinsip penting yang bisa diperankan oleh Gereja. Yang pertama adalah prinsip keseimbangan (equilibrium principle) dan prinsip pembaruan (reforming principle). Rasanya kedua hal ini adalah semangat dari gerakan Protestant mula-mula.

Yang pertama, prinsip keseimbangan sebenarnya ingin menghindarkan gereja untuk menja­di ekstrim dan sektarian. Kata sektarian sebenarnya berarti “penekanan pada sektor tertentu saja.” Sebuah kelompok menjadi sektarian jika mereka sekedar memberi tekanan secara berat sebelah pada satu sektor dan mengabaikan sektor lainnya. Dan ketika kelompok sektarian ini kemudian memisahkan diri dari arus utama, maka ia disebut sekte. Prinsip keseimbangan mem­buat kita mengutuhkan seluruh dilema kita menjadi satu. Dilema itu tetap muncul dan akan selalu memunculkan ketegangan. Namun bergereja berarti menciptakan suatu ketegangan yang kreatif, ketegangan yang senantiasa membawa arah baru bagi masa depan kita. Maka dengan prinsip keseimbangan ini kita ingin menjadi gereja yang sama-sama menekankan:

«1. Otoritas Alkitab dan relevansinya senantiasa»

«2. Tugas pemberitaan Injil dan tugas pelayanan kasih»

«3. Tanggung jawab pribadi dan wewenang gerejawi»

«4. Kebersamaan dengan semua gereja sedunia dan keunikan masing-masing denominasi»

«5. Sifat katolik gereja dan karakter kontekstual gereja»

«6. Doktrin yang benar (ortodoksi) dan pengalaman rohani yang benar (ortopietas), dan malah karya yang benar (ortopraksis

«7. Keyakinan pada Kristus sebagai penyelamat kita dan keyakinan bahwa Allah berkarya di semua tempat, budaya dan agama»

Dalam hal ini benar apa yang dikatakan oleh Milton J. Coalter, John M. Mulder dan Louis B. Weeks, dalam buku yang disebut di atas,

Memelihara keseimbangan di semua rentangan tanggung jawab yang paralel jauh lebih dari sekedar bersikap netral. Sebaliknya sikap ini merupakan sebuah usaha yang keras dan penuh kehati-hatian untuk mempertahankan sebuah ketegangan terus-menerus antara penekanan yang bersaing dari iman Kristen ...

Jadi memang dibutuhkan usaha yang menggabungkan kreativitas, kebijaksanaan dan sekaligus keberanian untuk dari hari ke hari semakin menjadi gereja yang seimbang, utuh dan setia pada semua tugasnya.

Yang kedua adalah prinsip pembaruan terus-menerus. Yang menjadi pertanyaan utama kita sebenarnya, apa yang membuat kita sebenarnya menjadi sebuah gereja reformatoris? Apakah sistem organisasi presbiterial, luterial kita? Apakah kumpulan doktrin kita (predestinasi, tiga sola dan sebagainya)? Apakah sistem liturgi kita? Sebenarnya bukan! Apa yang membuat kita tetap menjadi gereja reformatoris sebenanya adalah semangat reformasi itu sendiri. Semangat yang diungkapkan dalam sebuah pameo Latin, ecclesia reformata semper reformanda, gereja yang sudah direformasi perlu direformasi terus. Di balik semangat ini terkandung beberapa kaidah teologis yang penting.

1. Movement, bukan monument

Apa yang diusahakan oleh Luther, Zwingli, Calvin dan tokoh lainnya pada abad ke-16 bukanlah sebuah tonggak (monumen) saja, namun lebih dari itu, sebuah gerakan (movement), hulu dari sebuah sungai yang bergerak terus sampai pada saatnya mencapai lautan lepas. Sekali ia berhenti ia menjadi rawa yang menyimpan kematian. Gereja yang sejati justru adalah gereja yang bersedia meninggalkan kekakuannya dan menemukan terus secara baru jatidirinya.

2. Proses, bukan masa lalu

Semangat ini menyadarkan kita bahwa reformasi adalah sebuah proses (reforming) tanpa henti dan bukan sekedar menjadi sebuah peristiwa tunggal masa lalu (reformed) yang harus dibakukan dan dibekukan sepanjang zaman. Maka dari itu amat menggelikan – juga bagi Calvin tentu! – jika ada saja kelompok protestant tertentu yang mengklaim diri sebagai penerus/pewaris terlengkap ajaran Calvin.

3. Relevansi sebagai pendorong

Gerakan reformasi yang terus-menerus mengandaikan adanya tuntutan untuk merele­van­sikan iman kristiani dalam konteks zaman yang senantiasa berubah. “New occasions teach new duties.”

4. Gereja tidak pernah sempurna

Semangat ini juga menunjukkan keyakinan kita bahwa gereja tidak pernah sempurna. Tak pernah ada doktrin yang sempurna dan timeless. Hanya Allah yang sempurna. Justru di dalam ketidaksempurnaan ini kita terus berlari dan berproses, dengan cara mengakui keter­ba­tasan kita kini di sini dan mencoba menemukan celah dan jalan baru menggereja ke masa depan.

5. Penghargaan pada kepelbagaian

Karena konteks yang berubah itu majemuk, maka harus disadari bahwa reformasi di setiap konteks bisa memunculkan hasil yang beragam dan majemuk pula. Maka kepelba­gaian memang sebuah konsekuensi yang tidak bisa dihindari. Menyangkal kepelbagaian dengan cara mengkafirkan hasil reformasi di konteks yang berbeda dengan kita sama halnya dengan menyangkal semangat ini.

6. Firman Allah sebagai tuntunan

Firman Allah memang tak berubah, namun cara memandang dan menafsirkannya harus selalu berubah. Sayang banyak gereja reformasi yang mengklaim diri sebagai pengem­ban amanat Firman Allah yang terbenar. Padahal mereka tak menyadari apa yang mereka sebut sebagai “Firman Allah” sebenarnya adalah “interpretasi mereka tentang Firman Allah.”

7. Pentingnya otokritik

Semangat ini menunjukkan penting otokritik, kritik terhadap diri sendiri. Sama seperti Luther sebagai bagian dari gereja Roma saat itu melakukan otokritik terhadap gerejanya, maka kita sekarang juga perlu melakukan otokritik terhadap gereja kita sendiri. Paul Tillich mengatakan bahwa prinsip reformasi ini merupakan “penghakiman profetis melawan kecongkakan religius dan arogansi gerejawi.”

Prinsip-prinsip di atas membuat kita sadar bahwa gereja memang bisa berubah. Perubahan itu justru didorong oleh dasar iman yang tidak bisa berubah, yaitu Allah Tritunggal yang menyatakan diri dalam Firman-Nya dan sejarah. Ini yang tidak bisa berubah! Selebih bisa dan harus selalu mengalami pembaruan.

BEBERAPA LANGKAH STRATEGIS

Berdasarkan kedua prinsip di atas, maka saya mencoba menawarkan beberapa langkah stra­te­gis bagi Anda semua. Artinya, memang tidak ada tip dan resep praktis untuk memberlaku­kan kedua prinsip ini. Anda sendiri yang musti menerjemahkannya dalam konteks khusus Anda.

1. Menyeimbangkan doktrin, perasaan beragama dan praksis

Dalam sejarah gereja-gereja reformed (Calvinisme) sebenarnya terdapat tiga kelompok gereja yang memiliki nuansa berbeda-beda. Kelompok pertama adalah kelompok dok­trin­alis, yaitu mereka yang kebanyakan berasal dari Amerika Serikat, yang mewarisi semangat mempertahankan kebenaran doktrin (ortodoks) dari sebagian kelompok yang sama di Belan­da. Kedua adalah kelompok kulturalis yang muncul di sebagian besar gereja Belanda yang berhadapan dengan soal-soal sosial yang memperjuangkan peran kristiani dalam dunia sosial (ortopraksi). Ketiga adalah kelompok pietis yang ada di Amerika Serikat yang berakar pada tradisi Inggris, yang menekankan kesalehan hati (ortopietas). Ini semua membuat kita sadar bahwa memang tugas pembaruan kita adalah menyeimbangkan ketiga dimensi ini bersama-sama: doktrin, kesalehan dan praksis; ortodoksi, ortopietas dan ortopraksis.

2. Mengupayakan perubahan secara bijaksana dan kreatif agar isi iman kita makin relevan dengan situasi dan panggilan zaman

Perubahan harus berlangsung dalam semua aspek hidup gereja: ajaran, ibadah-liturgi, organisasi, teologi, dan sebagainya. Yang pasti perubahan tersebut tidak bisa seketika terjadi dan tidak bisa dilakukan asal-asalan. Perlu refleksi dan usaha belahar secara mendalam. Umat harus dididik untuk memiliki semangat semper reformanda ini.

3. Secara sadar menolak pengaruh ajaran yang pro-status-quo dan fundamentalistis

Fundamentalisme sekalipun menarik, ternyata amat merusak. Dr. Eka Darmaputera menyatakan bahwa memberi peluang pengaruh fundamentalisme ke dalam gereja ternyata lebih banyak ruginya daripada untungnya.

4. Mengupayakan perubahan dengan mulai dari visi akhir

Perubahan yang dilakukan tanpa arah sama sekali justru akan merusak tata hidup bersama. jangan melakukan perubahan secara sporadis, hanya karena ketertarikan pada praktik bergereja lain. Namun, mulailah dengan menancapkan visi gereja mendatang dan kemudian merancang strategi-startegi perubahan yang lebih sehat.

5. Mengupayakan perubahan dengan tetap memelihara kesatuan dalam kepelbagaian

Perubahan harus makin mengarahkan seluruh umat untuk “berdamai dengan gerejanya.” Artinya, umat harus selalu menyadari identitas Gerejanya serta bangga dengan identitas itu. Lebih dari itu, perubahan yang diusahakan harus tetap menjaga kesatuan, sambil juga menjaga agar keberagaman dan kemajemukan di dalam umat terjaga.

6. Mengupayakan perubahan dengan belajar dari tradisi lain

Perubahan dapat dilakukan hanya jika kita bersedia belajar dari tradisi gerejawi lain. namun harus disadari bahwa sumbangan tradisi lain tidak bisa dengan mudah diadaptasi ke dalam kehidupan gereja kita tanpa pengujian kritis (critical discernment) dan tanpa pendekatan sistemik (systemic approach). Pengujian kritis berarti bahwa semua yang kita pelajari dari tradisi lain harus diuji kebenarannya dan bukan sekedar atas dasar ketertarikan yang superfisial. Pendekatan sistemik berarti bahwa apa yang bisa kita serap dari tradisi lain harus sesuai dengan keseluruhan sistem teologis kita dan bukan secara tambal-sulam.

7. Perubahan akhir-akhirnya harus berujung pada pemberdayaan gereja dalam melakukan tugas misionernya

Kita tidak mengusahakan perubahan demi pembaruan itu sendiri, namun semata-mata demi inti dari keberadaan gereja, yaitu misinya. Jika gereja diperbarui dan tidak semakin bersifat misioner, maka pembaruan itu bersifat palsu. Misi kita adalah ikut serta dalam pemberlakuan misi Kerajaan Allah yang ditandai dengan perdamaian, pendamaian, keadilan, pembebasan, keutuhan ciptaan dan penghambaan.

PUSTAKA TERPILIH

Coalter, Milton J. (et.all.), The Re-forming Tradition; Presbyterians and Mainstream Protestantism, Louisville, Kentucky, Westminster/John Knox Press, 1992.

Kirkpatrick C. & Hopper, William H. Jr., What United Presbyterians; Common Ground for Troubled Times, Louisville, Kentucky, Geneva Press, 1997.

Walt, B.J. van der, Anatomy of Reformation, Potchefstroom, Potchefstroom University for Christian Higher Education, 1991.

Stendahl, Krister, “What Does It Mean to be a Reforming Church?”, http://www.mit.edu/afs/athena.mit.edu/activity/l/lem/www/stendahl.html.

Song, Choan-Seng, “The Tortoise and the Hare: Creating a Reforming Church for a Global World”, http://www.psr.edu/resources/csong1.html.

Tidak ada komentar: