Sabtu, 22 Agustus 2009

ECCLESIA REFORMATA SEMPER REFORMANDA

7 Dilema, 7 Keseimbangan, 7 Prinsip Pembaruan & 7 Strategi Pembaruan

GEJALA BELAKANGAN DALAM TUBUH PROTESTANTISME

Pergumulan yang berawal dari beberapa kenyataan yang amat jelas terpampang di depan mata. Saya ingin memberi dua contoh paling penting.

1. Heterogenisasi dan Homogenisasi

Pertama, di satu sisi, kita menyaksikan terjadinya heterogenisasi, pemajemukan, pemer­kayaan warna teologis gereja-gereja reformatoris, baik dengan segi ajaran, ibadah maupun etika. Saya memahami ini memang sudah menjadi konsekuensi dari salah satu prinsip utama Protestant­isme, yaitu sola scriptura (hanya oleh Alkitab), yang sejak zaman Luther membuat umat bisa membaca Alkitabnya sendiri dan memberikan refleksi pribadi atasnya. Otoritas hirarki gerejawi (Paus) ditentang dan terjadilah demokratisasi pembacaan Alkitab. Alhasil, orang-orang Protestan tak memiliki hirarki legal yang memiliki otoritas untuk mengawasi dan mengontrol ajaran yang berkembang. Selama ratusan tahun hingga kini kemudian terbentuklah keberagaman cara dan isi penafsiran Alkitab. Dan ketika keberagam­an ini tidak bisa diakomodasi, maka terjadilah perpe­cahan dan perpisahan. Maka tak heran jika dalam bagan gereja sedunia, pihak Protestanlah yang paling banyak memiliki anak-anak cabang yang independen.

Di sisi lain, sebagai reaksi atas kenyataan di atas, saya melihat adanya usaha untuk justru melakukan homogenisasi, standardisasi, pemutlakan teologi tunggal oleh banyak pihak di kalangan gereja-gereja Protestan. Tak jarang kita mendengar ungkapan, “Inilah doktrin yang paling benar, paling alkitabiah!” dan segera dibarengi dengan ungkapan lain, “Apa yang tidak sesuai dengan ajaran ini berarti sesat dan tidak alkitabiah!” Gejala ini dalam skala ekstrim memunculkan fundamentalisme, yaitu suatu cara pandang yang mengabsolut­kan satu perspektif dengan cara mengkafirkan perspektif lain yang tidak sesuai dengan dirinya.

Pertengkaran antargereja yang terjadi di lapisan para pejabat maupun umat akhir-akhir ini, terbuka atau hanya saling sindir, sebenarnya menunjukkan adanya ketegangan dan dilema antara ortodoksi dan heterodoksi, antara kelurusan ajaran dan kewarna-warnian ajaran. Di sisi mana kita harus berdiri?

2. Pelembagaan dan Revivalisasi-Sepotong

Kedua, saya mengamati pula kecenderungan adanya ketegangan antara pelembagaan gereja reformatoris arus utama (mainstream churche) di satu sisi dan pembangkitan kemba­li gereja secara sepotong dalam dimensi-dimensi yang amat terbatas di sisi lain.

Gereja-gereja arus utama, terlalu disibukkan dengan usaha mengorganisasi diri dan dengan demikian kehilangan semangat mula-mula. Segala sesuatu yang terjadi di gereja diukur dari kecocokannya dengan peraturan dan sistem organisasi. Dengan demikian gereja sebagai organisme berubah menjadi organisasi. Gerakan menjadi lembaga. Pada titik ini apa yang sudah menjadi warisan masa lalu menjadi baku, beku dan baka

Di sisi lain, cabang Protestantisme yang dimulai oleh Pentakostalisme dan bergerak menu­ju neo-Pentakostalisme (Kharismatisisme) dan bahkan neo-neo-Pentakostalisme (neo-Kharis­matis­isme) mengalami kebangunan rohani besar-besaran, yang sayangnya terlalu timpang menekan­kan pengalaman rohani (spiritual experiences) dan cenderung meng­abaikan hal-hal penting lain, seperti doktrin dan etika. Dalam hal ajaran (doktrin), terjadi ketidakteraturan teologis. Seorang pemimpin bisa memiliki pandangan apa saja, seaneh apapun, asal mendukung pengalaman rohaninya dan didukung oleh umat yang mengidola­kannya secara fanatik. Dalam hal etika, kita melihat gerakan ini amat miskin dalam paham dan praktik teologi sosialnya (peran gereja di dalam masyarakat – etika sosial), maupun dalam paham dan praktik teologi ekumenenya (kebersamaan antargereja). Dalam hal etika sosial, mereka cenderung melarikan diri dari tugas kenabian. Sedang dalam hal etika ekumene, mereka tampak kurang peduli pada perasaan gereja-gereja lain.

TUJUH MASALAH UTAMA

Dua gejala di atas hanyalah contoh tentang apa yang tengah terjadi di tubuh gereja-gereja Protestantisme. Sebuah buku bagus berjudul The Re-forming Tradition, karangan Milton J. Coalter, John M. Mulder dan Louis B. Weeks, menunjukkan bahwa gejala-gejala ini bisa dike­lom­pokkan menjadi tujuh masalah utama. Namun ketujuh masalah tersebut mungkin tidak semuanya relevan untuk konteks Indonesia. Saya berusaha untuk menyesuaikannya dalam konteks kita kini dan di sini.

1. Penafsiran Alkitab

Ada dilema antara tugas mempertahankan otoritas Alkitab yang dipandang kekal di satu sisi dan tuntutan untuk memberi penafsiran yang lebih kontekstual di sisi lain. Tekanan berlebihan pada sisi pertama memunculkan fundamentalisme dengan prinsip ineransi (Alkitab tak mungkin salah pada naskah asli dalam segala hal), yang tidak peka dan terlalu konfrontatif serta over-reaktif pada isu-isu aktual. Tekanan berlebihan pada sisi kedua dapat memunculkan keraguan pada otoritas Alkitab karena semua teks harus ditafsir secara baru. Yang pertama membuat gereja sekedar mempertahankan teologi para reformator abad ke-16, sebagaimana ditunjuk­kan misalnya oleh kelompok reformed. Sedang yang kedua dimun­culkan oleh banyak teolog lulusan STT yang didukung Gereja.

2. Tugas pada Dunia

Ada dilema antara tugas melakukan pekabaran Injil secara pribadi kepada dunia dan tugas melakukan pelayanan sosial untuk memperbarui masyarakat. Yang satu bisa menjurus pada sikap terlalu menekankan aspek individual-rohani, yang lain pada sikap terlalu menekankan aspek sosial-jasmani.

3. Kuasa dan Otoritas

Ada dilema antara prinsip bahwa setiap orang bertanggung jawab atas keputusan pribadinya dan prinsip bahwa gereja memegang tugas dan tanggung jawab untuk mengatur dan menyeragamkan pemahaman teologis. Yang satu membuat kekristenan jadi agama personal, yang lain membuat kekristenan sekedar menjadi agama komunal.

4. Ekumenisme dan Denominasionalisme

Ada dilema antara tugas mempersatukan gereja-gereja menjadi satu tubuh secara organi­satoris dan tugas untuk menghargai kepelbagaian denominasi yang ada. Yang satu menjurus pada penyeragaman, yang lain menjurus pada pengkotak-kotakan yang terpisah-pisah.

5. Katolisitas dan Kontekstualitas

Ada dilema antara tugas memperjuangkan sifat am (katolik) dari gereja sehingga dasar bersama amat ditekankan dan tugas menerjemahkan iman dalam konteks yang khusus di mana gereja hadir.

6. Doktrin dan Pengalaman Rohani

Ada dilema antara tugas menjaga sistem ajaran di satu sisi dan tugas untuk mengem­bangkan kesempatan umat mengalami pengalaman rohani yang berarti. Yang pertama ditekankan secara berlebihan oleh kelompok yang mengaku diri injili, yang lain terlalu ditekankan secara berlebihan oleh gereja-gereja yang beraliran pentakostal dan kharismatik.

7. Eksklusivisme dan Universalisme

Ada dilema antara tugas mempertahankan prinsip keselamatan di dalam Kristus di satu sisi dan tugas mempertahankan pesan universal keselamatan yang Allah berikan. Yang satu bisa memunculkan eksklusivisme yang kemudian mengabsolutkan prinsip “keselamatan di dalam Kristus” menjadi doktrin “keselamatan sati-satunya melalu Kristus.” Yang lain me­mun­­culkan paham universalisme yang menghargai jalan keselamatan dalam agama-agama lain.

KEMBALI PADA SEMANGAT MULA-MULA

Dilema dan persoalan di atas membuat kehidupan gereja-gereja Prostestant tak pernah sepi dari perdebatan, konflik dan pertikaian. Di mana posisi gereja arus utama? Di mana gereja-gereja arus utama ketika terjadi konflik antara fundamentalisme-liberalisme, antara kesaksian rohani dan pelayanan sosial, antara eku­me­n­isme dan denominasionalisme, antara ortodoksi dan ortopietas, antara eksklusivisme dan universalisme?

Saya semakin berkeyakinan bahwa di tengah banyak dilema di atas ada dua prinsip penting yang bisa diperankan oleh Gereja. Yang pertama adalah prinsip keseimbangan (equilibrium principle) dan prinsip pembaruan (reforming principle). Rasanya kedua hal ini adalah semangat dari gerakan Protestant mula-mula.

Yang pertama, prinsip keseimbangan sebenarnya ingin menghindarkan gereja untuk menja­di ekstrim dan sektarian. Kata sektarian sebenarnya berarti “penekanan pada sektor tertentu saja.” Sebuah kelompok menjadi sektarian jika mereka sekedar memberi tekanan secara berat sebelah pada satu sektor dan mengabaikan sektor lainnya. Dan ketika kelompok sektarian ini kemudian memisahkan diri dari arus utama, maka ia disebut sekte. Prinsip keseimbangan mem­buat kita mengutuhkan seluruh dilema kita menjadi satu. Dilema itu tetap muncul dan akan selalu memunculkan ketegangan. Namun bergereja berarti menciptakan suatu ketegangan yang kreatif, ketegangan yang senantiasa membawa arah baru bagi masa depan kita. Maka dengan prinsip keseimbangan ini kita ingin menjadi gereja yang sama-sama menekankan:

«1. Otoritas Alkitab dan relevansinya senantiasa»

«2. Tugas pemberitaan Injil dan tugas pelayanan kasih»

«3. Tanggung jawab pribadi dan wewenang gerejawi»

«4. Kebersamaan dengan semua gereja sedunia dan keunikan masing-masing denominasi»

«5. Sifat katolik gereja dan karakter kontekstual gereja»

«6. Doktrin yang benar (ortodoksi) dan pengalaman rohani yang benar (ortopietas), dan malah karya yang benar (ortopraksis

«7. Keyakinan pada Kristus sebagai penyelamat kita dan keyakinan bahwa Allah berkarya di semua tempat, budaya dan agama»

Dalam hal ini benar apa yang dikatakan oleh Milton J. Coalter, John M. Mulder dan Louis B. Weeks, dalam buku yang disebut di atas,

Memelihara keseimbangan di semua rentangan tanggung jawab yang paralel jauh lebih dari sekedar bersikap netral. Sebaliknya sikap ini merupakan sebuah usaha yang keras dan penuh kehati-hatian untuk mempertahankan sebuah ketegangan terus-menerus antara penekanan yang bersaing dari iman Kristen ...

Jadi memang dibutuhkan usaha yang menggabungkan kreativitas, kebijaksanaan dan sekaligus keberanian untuk dari hari ke hari semakin menjadi gereja yang seimbang, utuh dan setia pada semua tugasnya.

Yang kedua adalah prinsip pembaruan terus-menerus. Yang menjadi pertanyaan utama kita sebenarnya, apa yang membuat kita sebenarnya menjadi sebuah gereja reformatoris? Apakah sistem organisasi presbiterial, luterial kita? Apakah kumpulan doktrin kita (predestinasi, tiga sola dan sebagainya)? Apakah sistem liturgi kita? Sebenarnya bukan! Apa yang membuat kita tetap menjadi gereja reformatoris sebenanya adalah semangat reformasi itu sendiri. Semangat yang diungkapkan dalam sebuah pameo Latin, ecclesia reformata semper reformanda, gereja yang sudah direformasi perlu direformasi terus. Di balik semangat ini terkandung beberapa kaidah teologis yang penting.

1. Movement, bukan monument

Apa yang diusahakan oleh Luther, Zwingli, Calvin dan tokoh lainnya pada abad ke-16 bukanlah sebuah tonggak (monumen) saja, namun lebih dari itu, sebuah gerakan (movement), hulu dari sebuah sungai yang bergerak terus sampai pada saatnya mencapai lautan lepas. Sekali ia berhenti ia menjadi rawa yang menyimpan kematian. Gereja yang sejati justru adalah gereja yang bersedia meninggalkan kekakuannya dan menemukan terus secara baru jatidirinya.

2. Proses, bukan masa lalu

Semangat ini menyadarkan kita bahwa reformasi adalah sebuah proses (reforming) tanpa henti dan bukan sekedar menjadi sebuah peristiwa tunggal masa lalu (reformed) yang harus dibakukan dan dibekukan sepanjang zaman. Maka dari itu amat menggelikan – juga bagi Calvin tentu! – jika ada saja kelompok protestant tertentu yang mengklaim diri sebagai penerus/pewaris terlengkap ajaran Calvin.

3. Relevansi sebagai pendorong

Gerakan reformasi yang terus-menerus mengandaikan adanya tuntutan untuk merele­van­sikan iman kristiani dalam konteks zaman yang senantiasa berubah. “New occasions teach new duties.”

4. Gereja tidak pernah sempurna

Semangat ini juga menunjukkan keyakinan kita bahwa gereja tidak pernah sempurna. Tak pernah ada doktrin yang sempurna dan timeless. Hanya Allah yang sempurna. Justru di dalam ketidaksempurnaan ini kita terus berlari dan berproses, dengan cara mengakui keter­ba­tasan kita kini di sini dan mencoba menemukan celah dan jalan baru menggereja ke masa depan.

5. Penghargaan pada kepelbagaian

Karena konteks yang berubah itu majemuk, maka harus disadari bahwa reformasi di setiap konteks bisa memunculkan hasil yang beragam dan majemuk pula. Maka kepelba­gaian memang sebuah konsekuensi yang tidak bisa dihindari. Menyangkal kepelbagaian dengan cara mengkafirkan hasil reformasi di konteks yang berbeda dengan kita sama halnya dengan menyangkal semangat ini.

6. Firman Allah sebagai tuntunan

Firman Allah memang tak berubah, namun cara memandang dan menafsirkannya harus selalu berubah. Sayang banyak gereja reformasi yang mengklaim diri sebagai pengem­ban amanat Firman Allah yang terbenar. Padahal mereka tak menyadari apa yang mereka sebut sebagai “Firman Allah” sebenarnya adalah “interpretasi mereka tentang Firman Allah.”

7. Pentingnya otokritik

Semangat ini menunjukkan penting otokritik, kritik terhadap diri sendiri. Sama seperti Luther sebagai bagian dari gereja Roma saat itu melakukan otokritik terhadap gerejanya, maka kita sekarang juga perlu melakukan otokritik terhadap gereja kita sendiri. Paul Tillich mengatakan bahwa prinsip reformasi ini merupakan “penghakiman profetis melawan kecongkakan religius dan arogansi gerejawi.”

Prinsip-prinsip di atas membuat kita sadar bahwa gereja memang bisa berubah. Perubahan itu justru didorong oleh dasar iman yang tidak bisa berubah, yaitu Allah Tritunggal yang menyatakan diri dalam Firman-Nya dan sejarah. Ini yang tidak bisa berubah! Selebih bisa dan harus selalu mengalami pembaruan.

BEBERAPA LANGKAH STRATEGIS

Berdasarkan kedua prinsip di atas, maka saya mencoba menawarkan beberapa langkah stra­te­gis bagi Anda semua. Artinya, memang tidak ada tip dan resep praktis untuk memberlaku­kan kedua prinsip ini. Anda sendiri yang musti menerjemahkannya dalam konteks khusus Anda.

1. Menyeimbangkan doktrin, perasaan beragama dan praksis

Dalam sejarah gereja-gereja reformed (Calvinisme) sebenarnya terdapat tiga kelompok gereja yang memiliki nuansa berbeda-beda. Kelompok pertama adalah kelompok dok­trin­alis, yaitu mereka yang kebanyakan berasal dari Amerika Serikat, yang mewarisi semangat mempertahankan kebenaran doktrin (ortodoks) dari sebagian kelompok yang sama di Belan­da. Kedua adalah kelompok kulturalis yang muncul di sebagian besar gereja Belanda yang berhadapan dengan soal-soal sosial yang memperjuangkan peran kristiani dalam dunia sosial (ortopraksi). Ketiga adalah kelompok pietis yang ada di Amerika Serikat yang berakar pada tradisi Inggris, yang menekankan kesalehan hati (ortopietas). Ini semua membuat kita sadar bahwa memang tugas pembaruan kita adalah menyeimbangkan ketiga dimensi ini bersama-sama: doktrin, kesalehan dan praksis; ortodoksi, ortopietas dan ortopraksis.

2. Mengupayakan perubahan secara bijaksana dan kreatif agar isi iman kita makin relevan dengan situasi dan panggilan zaman

Perubahan harus berlangsung dalam semua aspek hidup gereja: ajaran, ibadah-liturgi, organisasi, teologi, dan sebagainya. Yang pasti perubahan tersebut tidak bisa seketika terjadi dan tidak bisa dilakukan asal-asalan. Perlu refleksi dan usaha belahar secara mendalam. Umat harus dididik untuk memiliki semangat semper reformanda ini.

3. Secara sadar menolak pengaruh ajaran yang pro-status-quo dan fundamentalistis

Fundamentalisme sekalipun menarik, ternyata amat merusak. Dr. Eka Darmaputera menyatakan bahwa memberi peluang pengaruh fundamentalisme ke dalam gereja ternyata lebih banyak ruginya daripada untungnya.

4. Mengupayakan perubahan dengan mulai dari visi akhir

Perubahan yang dilakukan tanpa arah sama sekali justru akan merusak tata hidup bersama. jangan melakukan perubahan secara sporadis, hanya karena ketertarikan pada praktik bergereja lain. Namun, mulailah dengan menancapkan visi gereja mendatang dan kemudian merancang strategi-startegi perubahan yang lebih sehat.

5. Mengupayakan perubahan dengan tetap memelihara kesatuan dalam kepelbagaian

Perubahan harus makin mengarahkan seluruh umat untuk “berdamai dengan gerejanya.” Artinya, umat harus selalu menyadari identitas Gerejanya serta bangga dengan identitas itu. Lebih dari itu, perubahan yang diusahakan harus tetap menjaga kesatuan, sambil juga menjaga agar keberagaman dan kemajemukan di dalam umat terjaga.

6. Mengupayakan perubahan dengan belajar dari tradisi lain

Perubahan dapat dilakukan hanya jika kita bersedia belajar dari tradisi gerejawi lain. namun harus disadari bahwa sumbangan tradisi lain tidak bisa dengan mudah diadaptasi ke dalam kehidupan gereja kita tanpa pengujian kritis (critical discernment) dan tanpa pendekatan sistemik (systemic approach). Pengujian kritis berarti bahwa semua yang kita pelajari dari tradisi lain harus diuji kebenarannya dan bukan sekedar atas dasar ketertarikan yang superfisial. Pendekatan sistemik berarti bahwa apa yang bisa kita serap dari tradisi lain harus sesuai dengan keseluruhan sistem teologis kita dan bukan secara tambal-sulam.

7. Perubahan akhir-akhirnya harus berujung pada pemberdayaan gereja dalam melakukan tugas misionernya

Kita tidak mengusahakan perubahan demi pembaruan itu sendiri, namun semata-mata demi inti dari keberadaan gereja, yaitu misinya. Jika gereja diperbarui dan tidak semakin bersifat misioner, maka pembaruan itu bersifat palsu. Misi kita adalah ikut serta dalam pemberlakuan misi Kerajaan Allah yang ditandai dengan perdamaian, pendamaian, keadilan, pembebasan, keutuhan ciptaan dan penghambaan.

PUSTAKA TERPILIH

Coalter, Milton J. (et.all.), The Re-forming Tradition; Presbyterians and Mainstream Protestantism, Louisville, Kentucky, Westminster/John Knox Press, 1992.

Kirkpatrick C. & Hopper, William H. Jr., What United Presbyterians; Common Ground for Troubled Times, Louisville, Kentucky, Geneva Press, 1997.

Walt, B.J. van der, Anatomy of Reformation, Potchefstroom, Potchefstroom University for Christian Higher Education, 1991.

Stendahl, Krister, “What Does It Mean to be a Reforming Church?”, http://www.mit.edu/afs/athena.mit.edu/activity/l/lem/www/stendahl.html.

Song, Choan-Seng, “The Tortoise and the Hare: Creating a Reforming Church for a Global World”, http://www.psr.edu/resources/csong1.html.

Jumat, 21 Agustus 2009

Allah yang Terasa Lambat (Yesaya 64:1-9 )

  1. Salah satu masalah besar yang kita hadapi dalam hidup ini yang pasti menggelisahkan kita adalah ketika kita harus menunggu sesuatu di dalam ketidakpastian. Biasanya berbagai ketidakpastian inilah yang menggelisahkan hati kita. Bayangkan ketika seorang ibu yang sedang menantikan kelahiran anaknya. Pada hari yang diperkirakan oleh dokter ternyata si jabang bayi tidak kunjung lahir juga. Bayangkan pula orang-orang yang sedang dalam keadaan sakit, demikian lama mereka berharap dan menunggu, tetapi tidak ada kejelasan mereka akan sembuh atau tidak. Atau juga seorang bujangan yang telah lama menantikan hadirnya jodoh yang ditentukan baginya. Ia bergumul dengan dua pertanyaan ini: apakah saya akan berjodoh dengan seseorang ataukah saya harus melajang seumur hidup saya? Mungkin juga kita sedang menunggu pengumuman penting di kantor, apakah kita menjadi salah seorang pegawai yang turut mendapatkan kenaikan pangkat tahun ini. Semua ketidakpastian ini pastinya sangat menggelisahkan hati kita, membuat kita tidak merasa nyaman dan cemas. Kita lebih suka dengan jawaban ya atau tidak, kita tidak suka menunggu jawaban dalam waktu yang cukup lama. Di dalam hidup ini sering kali kita tidak merasa sabar atas sesuatu, semuanya harus serba pasti. Akibatnya, kita akan merasa gelisah ketika kita menjumpai sebuah ketidakpastian di dalam hidup ini.
  2. Seorang teman pernah bertutur : "Pada suatu malam, seusai melayani di sebuah gereja yang terletak di sebuah kota yang cukup sulit dijangkau dari mana pun juga, saya menunggu datangnya bus yang dapat mengantar saya kembali ke kota tempat tinggal saya. Itu adalah pengalaman saya yang pertama berada di kota itu. Walaupun sudah cukup malam, saya yakin bahwa akan ada bus antar kota yang akan berhenti di tempat itu, sehingga saya tidak terlalu terusik dengan lamanya waktu menunggu. Tetapi ada seorang bapak tua yang berjalan mondar-mandir dengan gelisah. Semua gerak-gerik tubuhnya sangat menunjukkan kegelisahannya. Tak lama kemudian saya menghampirinya dan menanyakan alasan kegelisahannya itu. Dengan wajah berkerut karena cemas ia bertanya apakah masih ada bus antar kota yang akan berhenti di tempat kami berdiri ke arah kota yang sama dengan yang akan saya tuju. Dengan optimisme tinggi saya meyakinkan dia bahwa malam itu pasti akan ada bus yang akan datang untuk mengantar kami kembali pulang, dan kemudian saya mencoba untuk menenangkan hatinya. Tetapi bujukan saya itu tidak berhasil menenangkannya, karena menurutnya minggu sebelumnya ia berada di tempat yang sama untuk menunggu bus yang sama, dan ia baru mendapat bus pada pukul 01.00. Tetapi saya yang merasa sangat yakin, sehingga saya masih mencoba bersikap tenang. Orang itu begitu senewen dan mulai mengomeli saya. Sayangnya, memang bus yang kami nantikan baru muncul pada pukul dua dini hari. "
  3. Orang yang tidak gelisah di dalam ketidakpastian bisa berarti dua hal. Yang pertama mungkin ia adalah orang yang terlalu percaya diri dan mudah menggampangkan segala sesuatu. Yang kedua bisa jadi karena justru ia adalah orang yang sangat acuh dengan keadaan di sekelilingnya. Tetapi dalam kondisi normal, proses penantian terhadap sesuatu adalah sesuatu yang menggelisahkan. "Tidak ada telinga yang mendengar, dan tidak ada mata yang melihat seorang allah yang bertindak bagi orang yang menanti-nantikan dia; hanya Engkau [Tuhan] yang berbuat demikian" (Yesaya 64:4). Di sini Tuhan digambarkan sebagai pribadi yang bertindak bagi orang yang menantikan-Nya. Bukankah ini adalah sebuah kabar baik? Tunggu dulu. Apabila dikatakan bahwa Tuhan akan bertindak bagi mereka yang menanti-nantikan-Nya, itu menandakan dua hal. Yang pertama adalah Tuhan bertindak, dan yang kedua adalah orang-orang yang menanti-nantikan Dia. Apabila kita percaya bahwa Tuhan bertindak, maka kita pun harus percaya bahwa Dia akan bertindak pada waktu-Nya, sehingga kita harus sabar menantikan saat itu tiba. Dengan kata lain, kita harus memahami bahwa waktu Tuhan tidak sama dengan waktu kita. Itulah sebabnya dikatakan bahwa Tuhan bertindak bagi orang-orang yang menanti-nantikan Dia. Jadi ada saatnya kita memang harus menunggu tindakan Allah dengan gelisah. Sering kali pada masa penantian itu kita dengan cemas bertanya-tanya, mengapa Tuhan tidak segera bertindak? Mengapa Dia tidak melakukan apa yang dipandang-Nya benar? Mengapa Dia tidak menjawab doa kita pada saat itu juga? Sekali lagi, Tuhan hendak mengajar kita untuk melihat perbedaan waktu-Nya dengan waktu kita. Dan jika memang kita merasa bahwa waktu itu terlalu lama, itu artinya Dia menghendaki kita untuk menunggu, walaupun dengan perasaan tidak tenang dan gelisah.
  4. Alangkah menariknya ketika kita memperhatikan orang-orang yang sedang menunggu giliran di sebuah ruang tunggu dokter gigi. Biasanya mereka datang dengan muka muram dan tegang. Uniknya, ketika nama mereka dipanggil untuk giliran selanjutnya, mereka pun tidak menunjukkan ekspresi yang senang, bahkan ada yang merasa semakin tegang. Saya sering mendengar keluhan beberapa orang yang gelisah melihat anak atau cucunya belum mendapatkan jodohnya. Padahal mungkin yang bersangkutan malah bersikap santai. Semuanya itu memperlihatkan bagaimana untuk menunggu hal-hal yang wajar secara manusiawi, manusia dapat menjadi cemas, apalagi ketika kita sedang menunggu-nunggu Allah bertindak dalam hidup kita. Ketika kita jatuh sakit, kita berharap Allah segera menyembuhkan kita. Ternyata penyakit itu tidak kunjung sembuh. Kegelisahan itu akan terus menggerogoti pikiran kita. Tetapi mau tidak mau kita harus menunggu, bukan?
  5. Menunggu adalah hal yang sangat menggelisahkan, terutama apabila kita menunggu waktu Tuhan bekerja atas sesuatu. Kita memang berhak merasa gelisah, tetapi tidak jarang kita memaksa Tuhan untuk memberi jawaban kepada kita atas penantian kita, jika memang Dia berkenan menolong, lebih baik Dia menyatakannya secara langsung kepada kita, dan jika tidak, lebih baik kita mendapatkan jawaban itu juga secara langsung dari-Nya sehingga kita tidak perlu menunggu. Tetapi memang itulah cara Tuhan bekerja yang menurut kita terasa lambat. Pertanyaan yang harus kita ajukan kepada diri sendiri adalah: apa yang harus kita lakukan sembari menunggu jawaban serta tindakan Allah?
  6. Bangsa Israel pernah mengalami penantian yang membosankan. Ketika Musa sedang bersama dengan Allah di atas gunung Sinai, mereka merasa bahwa Musa terlalu lama berada di sana. Seharusnya ia segera turun dari gunung itu untuk memimpin mereka kembali, dan mereka pun menjadi sangat gelisah. Di antara mereka muncul berbagai dugaan, bisa jadi Musa telah wafat, atau mungkin ia telah pergi meninggalkan mereka, atau bahkan telah diangkat oleh Tuhan ke surga. Di tengah-tengah ketidakpastian itu mereka mengambil keputusan untuk mengumpulkan semua anting-anting serta perhiasan emas mereka dan meleburnya menjadi sebuah patung anak lembu emas untuk disembah. Begitu mudah bagi mereka untuk melepaskan diri dari ketidaksabaran untuk menunggu Musa mendapatkan hukum dari Allah bagi mereka. Mereka dengan mudahnya melupakan semua pertolongan serta mukjizat yang Allah nyatakan dalam sepanjang kehidupan mereka. Itulah sebabnya Musa begitu murka ketika kembali dan mendapati mereka berbuat tidak setia terhadap Allah.
  7. Taktkala kita mengalami sakit, kita mencoba untuk mendekatkan diri kepada Tuhan sembari memohon kesembuhan dari-Nya. Tetapi ada kalanya kita tidak kunjung sembuh sehingga kita mulai memikirkan banyak alternatif di luar Kristus. Walaupun kita tahu bahwa pilihan pengobatan alternatif itu salah, apalagi dengan disebutkannya nama-nama di luar Tuhan kita, tetapi kita tidak sabar menunggu jawaban kesembuhan dari Tuhan, sehingga kita tetap melakukannya. Dengan mudahnya kita berkata bahwa kita akan meminta pengampunan dari Tuhan setelah kita sembuh berkat pengobatan alternatif itu. Tatkala kita tidak sabar menantikan jawaban serta tindakan Tuhan, sering kali kita bertindak seperti orang Israel, yaitu memutuskan untuk memakai berbagai jalan pintas yang justru bertentangan dengan kehendak-Nya, bahkan yang dibenci oleh-Nya.
  8. Ketidaksabaran kita dalam menantikan waktu Tuhan selalu memunculkan masalah baru. Misalnya saja apabila kita merasa tidak menemukan lagi kecocokan dengan pasangan hidup kita -baik suami maupun istri- dan kita tidak sabar menunggu waktu Tuhan bekerja untuk mengubah kehidupan kita menjadi lebih baik, maka dengan mudahnya kita memutuskan untuk bercerai dan mencari pasangan baru yang kita anggap lebih memahami kita dan lebih baik dari pasangan terdahulu. Ketidaksabaran kita dalam menantikan waktu Tuhan, juga membuat kita melakukan banyak hal yang menyakiti hati-Nya dan orang lain. Tetapi orang yang tidak sabar akan menjadi semakin geram dengan pernyataan ini. Jika memang Allah memahami benar bahwa manusia sering kali tidak sabar dengan penantian yang panjang, mengapa justru Dia membuat seolah-olah waktu berjalan begitu lambat sehingga manusia harus selalu bersungut-sungut? Jawabannya terdapat pada ayat 8: "Tetapi sekarang, ya Tuhan, Engkaulah Bapa kami! Kamilah tanah liat dan Engkaulah yang membentuk kami, dan kami sekalian adalah buatan tangan-Mu". Inilah faktanya, bahwa didalam masa penantian itu, sebenarnya Tuhan sedang membentuk hidup kita, dengan kata lain, kita sedang dibentuk oleh sang Pembuat. Waktu yang terasa lambat dan lama itu sebenarnya merupakan masa Tuhan mempersiapkan hidup kita untuk menerima berkat-Nya. Jadi pada saat kita bertanya-tanya mengapa Tuhan begitu lama menjawab doa kita, pada saat itulah sebenarnya Dia sedang membentuk dan mempersiapkan kehidupan kita sehingga pada saat yang tepat, hidup serta karakter kita telah terbentuk tepat seperti yang diharapkan-Nya pada saat Dia memberi jawaban atau berkat kepada kita. Sering kali orang yang tidak siap, baik itu mempersiapkan diri, disiapkan oleh Tuhan, maupun menolak untuk disiapkan oleh Tuhan, justru akan menemui serta membuat masalah baru.
  9. Kita banyak menjumpai orang yang dulunya berkekurangan secara material tetapi kehidupan keluarganya bahagia dan suami-istri saling mendoakan, terutama agar keuangan mereka diberkati lebih dari cukup. Tetapi di kala mereka telah diberkati dengan limpah secara material, sang suami mulai tergoda untuk memalingkan hati dan perhatiannya kepada wanita lain, mereka tidak lagi saling mendoakan. Harta yang menjadi jawaban atas doa mereka ternyata tidak menjadi berkat, malah menimbulkan masalah baru. Mengapa? Karena mereka, terutama sang suami, tidak cukup matang dan siap dalam hal karakter dan iman untuk menerima berkat Tuhan, sehingga ia tidak mampu bereaksi tepat seperti yang diharapkan-Nya. Berkat Tuhan justru menjadi masalah baru, tidak lagi berkat. Begitu pula ketika kita sakit, ada saatnya Tuhan membentuk kita terlebih dahulu supaya kita siap menerima berkat kesembuhan itu. Ketika saya sedang mengunjungi seorang pria yang sedang sakit, istrinya malah berharap agar ia tidak segera sembuh. Menurutnya, jika segera sembuh, maka sang suami akan segera kembali menjadi pria yang berperangai kasar, suka memukul dan menyakitinya serta anak-anak mereka. Itulah yang menjadi alasan Tuhan tidak segera menjawab doa kita. Dia harus membentuk sifat, karakter, iman, serta hati kita terlebih dahulu untuk menyiapkan kita menerima jawaban doa tepat pada waktunya. Ketika kita siap menerima jawaban dari pergumulan kita, karakter serta perilaku dan iman kita terbentuk, maka saat itulah Tuhan siap bertindak bagi kita, dan kita akan menerimanya dengan bahagia.
  10. Seorang pemuda mengeluh tentang ibunya. Dahulu sang ibu adalah seorang Kristen yang taat dan rajin ke gereja. Suatu ketika ia merasa kecewa dengan sesuatu yang dianggapnya tidak menyenangkan di gereja sehingga ia memutuskan untuk berpindah keyakinan. Bahkan sang ibu membuka pintu rumahnya untuk para pemuda dari kelompok agamanya untuk melakukan aktivitas ibadah di sana. Lalu pemuda ini meminta saya untuk mendoakan sang ibu agar menyadari perbuatannya dan bertobat. Ia menunggu selama satu tahun, tetapi doanya tidak kunjung terjawab. Ia bertanya-tanya kira-kira mengapa hal ini bisa terjadi. KIta coba balik pertanyaannya itu, " apa yang telah dilakukannya kepada sang ibu dalam masa penantian itu" Ia menjawab bahwa selama ini ia menunjukkan kebenciannya terhadap sang ibu. Alasannya menjadi jelas. Manakala ia tidak sedang menghormati serta mengasihi sang ibu, saat itulah Tuhan melihat bahwa ia tidak siap menerima jawaban dari-Nya. Itulah sebabnya ia menuruti saran saya untuk tetap bahkan semakin mengasihi ibunya walaupun hatinya menentang hal itu. Enam bulan kemudian ia telah berhasil mengasihi ibunya kembali dan ia terus melakukannya di dalam pembentukan yang Tuhan lakukan di dalam dirinya. Sampai akhirnya pada suatu pagi pada tahun yang ketiga, sang ibu berkata kepadanya bahwa ia ingin pergi ke gereja. Ia begitu bersukacita karena pada saat itulah Tuhan menjawab doanya. Jadi sebelumnya, ia tidak siap menerima pembentukan dari Allah sampai pada akhirnya karakter dan kasihnya menjadi murni, sehingga itulah saat yang tepat bagi Tuhan untuk bertindak baginya.
  11. Kita semua memiliki berbagai pengalaman mengenai belum terjawabnya doa kita, sehingga itu menggelisahkan hati kita. Tetapi apabila kita mencoba memahami bahwa waktu Tuhan tidaklah sama dengan waktu manusia, dan melihat bahwa di dalam masa penantian itu Tuhan sedang menguji dan membentuk karakter kita supaya kita siap menerima jawaban Tuhan, maka masa itu menjadi masa yang tidak menggelisahkan. Sebaliknya, masa penantian itu adalah saat yang baik bagi kita untuk diperbaiki dan dibentuk, seperti tanah liat di tangan Tuhan, sang Pembentuk kita. Kita tidak boleh marah apalagi sampai bertindak konyol dengan melakukan hal-hal yang menyakiti hati-Nya apabila doa kita belum terjawab. Memang tindakan Tuhan sering kali terasa lambat, tetapi Dia tidak pernah terlambat. Masa penantian adalah masa di mana Tuhan terus membentuk hidup kita. Selamat menanti.

KETIKA IMAN BERBENTURAN DENGAN KENYATAAN (Bilangan 13 : 25 -33 )

Saya rasa kita semua setuju bahwa iman kepercayaan kita kepada Yesus Kristus adalah bagian hidup yang signifikan dan sentral. Kita semua menyadari kehidupan kita ditopang oleh kekuatan yang bernama iman. Karena itulah, jika ada saudara seiman sedang dalam keadaan duka dan sedang dirundung permasalahan besar yang tidak kunjung selesai; maka kita biasanya akan menyalami tangan orang tersebut sambil berkata, "Tetap beriman, ya... berpegang teguhlah kepada Yesus Kristus". Kita membutuhkan kekuatan iman itu, ecara khusus ketika kehidupan berjalan tidak selancar yang kita harapkan.
Tetapi keadaannya bisa menjadi terbalik ketika kita sendiri yang sedang mengalami kesedihan, kedukaan atau pergumulan yang belum nampak jalan keluarnya. Di saat-saat seperti itulah kita menemukan bahwa beriman - apalagi tetap bertumbuh dalam iman - bukanlah hal yang mudah. Bahkan seringkali kita justru menemukan bahwa iman itu sepertinya tidak memberikan jawaban. Tidak menyediakan solusi bagi kita dan tidak memberikan kekuatan yang kita butuhkan. Di saat-saat seperti itu biasanya kita malah bertanya, "Di manakah Tuhan di balik semua yang saya alami ini?"
Alkitab mengatakan bahwa ketika kita beriman kepada Yesus Kristus, dan mengakui-Nya sebagai Tuhan dan Juruselamat kita, maka itu semua adalah karena anugerah Allah. Iman adalah pemberian atau haiah dari Allah yang kita terima begitu saja. Paulus pernah mengatakan bahwa, "Itu bukan hasil usahamu, jangan ada orang yang memegahkan dirinya". Namun iman itu diberikan Allah kepada kita bukan dalam bentuk yang sudah jadi dan sudah kuat; tetapi iman itu diberikan kepada kita dalam keadaan yang cukup untuk membuat kita percaya bahwa Yesus Kristus adalah Tuhan. Iman yang diberikan itu cukup untuk membuat kita dapat menjalani kehidupan ini. Di dalam kehidupan inilah nantinya kita akan mengalami perkembangan dan proses pembentukan iman oleh Tuhan.
Yesus Kristus pernah menggambarkan bahwa iman itu bukanlah sebuah pohon besar yang sudah berakar kuat, tetapi iman itu seperti biji yang kecil. Di dalam biji tersebut terdapat kandungan-kandungan yang membuatnya bisa bertumbuh. Jadi, iman adalah seperti biji dan bukan sebuah pohon yang sudah jadi. Dengan demikian Yesus mengharapkan bahwa di dalam proses kehidupan ini, iman yang seperti biji itu akan bertumbuh kembang dan berbuah serta akan menjadi kokoh. Iman yang kokoh akan mendatangkan hormat dan kemuliaan bagi Tuhan. Pertumbuhan dan perkembangan iman itu tidak terjadi di atas kertas tetapi di atas lapangan yang bernama kehidupan sehari-hari.
Di dalam kisah yang kita baca ini, Allah sudah mendidik orang Israel untuk mengenal dan mengasihi-Nya. Allah sudah berfirman kepada mereka bahwa tanah Kanaan itu milik mereka. Ada janji Allah yang dapat mereka pegang. Janji yang menunjukkan bahwa mereka itulah umat pilihan Allah. Dalam perikop ini kita tahu bahwa mereka sedang mendekati saat-saat terakhir dari perjalanan mereka. Setelah puluhan tahun mereka berkeliling, inilah saatnya mereka berada di muka pintu Tanah Perjanjian itu. Di depan Tanah Perjanjian itu, mereka memutuskan untuk mengirim orang-orang pilihan mereka, yaitu 12 orang pengintai. Orang-orang pilihan inilah yang akan masuk terlebih dahulu untuk mensurvei negeri ini.
Ketika 12 orang itu pulang setelah mengadakan pengintaian selama 40 hari 40 malam, mereka mengatakan satu hal yang sama, "Betul, tanah itu seperti yang difirmankan Tuhan : subur dan makmur!" Namun, 10 dari 12 orang tersebut mengatakan, "Tetapi di tanah yang subur dan makmur itu, juga ada orang-orang raksasa. Juga ada bangsa-bangasa yang kuat." Mereka juga menambah-nambahi dengan mengatakan bahwa orang-orang di negeri itu memakan habis penduduknya sendiri. Para pengintai itu mengatakan bahwa mereka seperti belalang di depan bangsa-bangsa Kanaan.
Di sinilah, iman yang adalah kepercayaan kita akan janji Allah itu bertemu dengan realita kehidupan. Allah berjanji Tanah Kanaan itu adalah milik orang Israel, tetapi realitanya ada bangsa-bangsa yang kuat hidup di tanah itu. Ketika terjadi perbenturan antara iman dan realita kehidupan, biasanya kita mulai mengalami kegoncangan hidup. Biasanya kita mulai berpikir ulang tentang iman kita. Apa yang kita yakini selama ini tentang Allah ternyata bisa mengalami benturan dengan kenyataan hidup sehari-hari. Orang Israel juga mengalami hal ini, mereka memegang janji Allah, tetapi yang dihadapi adalah kenyataan bahwa musuh mereka begitu kuat dan secara manusiawi sulit dikalahkan.
Kita meyakini sampai mendarah daging bahwa Allah itu maha kasih. Ketika kehidupan lancar serta tidak ada masalah, maka tidak ada benturan yang terjadi sehingga tak ada masalah yang muncul. Tetapi jika kita mengalami masalah yang menyesakkan dan tidak menyenangkan, menghadapi kedukaan yang besar dan kejaian yang tidak kita harapkan muncul, di saat itulah kita mengalami benturan antara iman dan kenyataan hidup. Tidak sedikit orang yang berkata, "Saya tahu Tuhan itu, maha kasih. Saya percaya itu. Tapi mengapa saya mengalami masalah seperti ini?"
Saya rasa kita semua percaya bahwa Tuhan itu maha kuasa dan penuh dengan kemuliaan. Segala sesuatu terjadi lewat kehendak- Nya. Tetapi, ketika masalah yang kita alami tidak kunjung selesai, ketika pergumulan itu makin lama makin berat dan makin menyesakkan, apa yang kita katakan? Kita berkata, "Saya tahu Ia itu maha kuasa, tetapi mengapa kok saya tidak dapat jalan keluar? Mengapa kehidupan ini begitu beratnya terjadi pada saya?"
Kita semua percaya Allah itu maha hadir. Tidak ada yang membatasi kehadiran-Nya. Tetapi ketika kita dirundung kedukaan yang dalam, timbullah perasaan kesendirian yang memedihkan hati yang membuat kita bertanya, "Di manakah Tuhan sebenarnya?"
Goncangan yang terjadi akibat benturan antara iman dan realita itu senantiasa menggelisahkan. Orang yang mengalaminya menjadi limbung dan dengan cepat berusaha mencari pijakan di mana ia akan berdiri. Akankah ia berdiri di dalam janji firman Tuhan yang sudah ia terima dan berkata, "Saya akan tetap terus karena saya percaya akan janji dan pemeliharaan Tuhan". Ataukah seperti kebanyakan orang memilih untuk berpegang dan berpijak pada kenyataan sambil berkata, "Sudah ndak usah ngomong tentang Allah yang maha kasih, maha kuasa; nyatanya hidup saya seperti ini. Buat apa saya ke gereja? Buat apa saya berbakti? Buat apa saya berdoa? Nyatanya, realitanya hidup saya seperti ini!" Di dalam kegoncangan itu orang menjadi lelah, kalah, kecewa, marah dan menyerah. Tepat seperti yang terjadi dengan 10 orang pengintai itu; mereka lelah, kalah dan menyerah. Tetapi 2 orang yang lain tetap berdiri dan berkata, "Maju terus!"
Memang, ketika goncangan itu terjadi kita akan mengalami saat-saat di mana kita akan mengalami limbung dan kebingungan. Tetapi, mari kita lihat; kalau Tuhan yang maha kuasa, maha baik, maha hadir, mengijinkan kita mengalami goncangan seberat apapun, apakah Ia mengharapkan kita hancur oleh goncangan itu? Apakah Ia mengharapkan iman kita hancur lebur di tengah goncangan itu? Tentu tidak! Dari perjalanan hidup tokoh-tokoh Alkitab menjadi jelas bahwa ketika goncangan dan situasi yang tidak menyenangkan itu terjadi, Allah sedang mencoba merentangkan pemahaman mereka tentang diri-Nya. Allah sedang mengajarkan sesuatu tentang diri-Nya yang selama ini mungkin belum kita sadari. Melalui perentangan pengetahuan tentang Allah itulah iman kita diharapkan-Nya bertumbuh.
Di dalam cara pandang Alkitab, iman itu bertumbuh bukan tatkala kehidupan sedang lancar. Sebaliknya iman itu bertumbuh di saat segala sesuatu terjadi tidak sesuai dengan harapan kita. Saat iman mengalami goncangan, ia makin bertumbuh. Melalui goncangan itu, Allah sedang mencoba membangun iman kita. Goncangan itu pastilah tidak menyenangkan dan akan senantiasa membuat kita gelisah dan kita tidak menikmatinya. Karena gelisah, maka kita tidak memperhatikan dan menolak proses goncangan itu dan memilih berpegang pada realita : "Ya sudah, saya begini saja". Padahal, kata orang, "no pain, no gain"; tidak ada rasa sakit, tidak ada hasil.
Secara sederhana iman itu dapat digambarkan seperti otot kita. Kita semua mempunyai otot, hanya saja berbeda-beda kekuatannya sehingga berbeda pula beban yang bisa kita tanggung. Suatu kali, di sebuah pasar raya, saya bertemu dengan seorang teman lama semasa SMP. Kami berpapasan, dan ia langsung menyapa saya. Kemudian ia menatap saya, sayapun menatap ia. Saya ingat sewaktu di SMP, ia sama kerempengnya dengan saya. Teman saya ini terus mengamati saya dari ujung rambut sampai ke ujung kaki; terutama ia memperhatikan bagian perut saya sampai ke bawah. Kemudian ia berkata, "Macam mana pula kau ini, Wahyu! Lama tidak ketemu, sekali ketemu, seperti gajah bengkak kau ini!" Saya mencoba tersenyum mendapat "keramahan" seperti itu. Namun saya maklum. Terakhir kali kami bertemu, berat badan saya masih sekitar 50-an kilo. Masih kurus sekali. Saya melihat teman saya yang dulu sama kerempengnya dengan saya sekarang menjadi lebih kekar dan lebih kencang . Sedangkan saya yang dulu kerempengnya seperti dirinya sekarang, katanya jadi seperti gajah bengkak; jadi gemuk sekali. Teman saya menepuk-nepuk pipi dan perut saya. Sebenarnya, saya merasa sedikit dilecehkan, tetapi ya... karena teman lama, maka saya anggap tidak apa-apa. Kemudian setelah berbincang-bincang, saya mengetahui bahwa teman saya ini sekarang bekerja sebagai instruktur di fittness centre. Saya memang melihat badan teman saya ini terbentuk kekar dan luar biasa. Enak dilihat. Saking kekarnya, kelihatannya ia tidak bisa menoleh tanpa menggerakkan tubuhnya. Teman ini mengatakan bahwa ia bersedia menjadi trainer pribadi saya sebanyak 3 x seminggu masing-masing 2,5 jam, selama 3 bulan. Ia akan melatih saya supaya badan saya terbentuk baik dan menjamin pasti berhasil. Saya bertanya apa saja yang harus saya lakukan selama dalam latihan tersebut dan ia menjelaskan bahwa saya akan melakukan senam aerobik, angkat beban, akan latihan ini dan itu. Intinya, saya akan melakukan hal-hal yang melelahkan.
Saya tahu, tawaran itu baik untuk saya. Tetapi, 3 x 2,5 jam per minggu "disiksa" dengan segala macam latihan, saya tentu tidak rela. Saya pun menolaknya dengan halus," Saya pikir-pikir dulu, deh." Nah, oleh karena berpikir-pikir itulah, sekarang ini saya masih cukup gemuk seperti sekarang ini. Cita-cita untuk punya tubuh yang kekar dan otot yang kuat ada, tetapi saya tidak mau menjalani prosesnya. Kira-kira seperti itu jugalah kondisi iman kita. Kita ingin iman yang kuat, tetapi kita tidak mau menjalani proses pembentukannya. Kita ingin mempunyai iman yang kuat agar mampu menahan beratnya beban kehidupan. Tetapi, ketika Allah merencanakan di dalam program-Nya bahwa untuk itu kita harus melewati saat-saat penuh goncangan dan pergumulan, kita menolak. Kita langsung mundur dan berkata, "Ya, itu baik; tetapi ndak usahlah!"
Goncangan kehidupan itu sebenarnya tidak bisa kita tolak. Seberapapun kaya dan pintarnya kita, suatu saat pasti akan terjadi benturan antara iman kita dengan realita keseharian yang terjadi. Pada saat seperti itu banyak orang akan memilih minggir dan kemudian lari kecewa meninggalkan Tuhan padahal bukan itu maksud Tuhan dengan latihan iman tersebut.. Sebaliknya Tuhan bermaksud agar kita bertumbuh melalui situasi seperti itu. Iman kita diregangkan oleh Tuhan, diperkuat dan dilatih oleh-Nya.
Bagaimanakah kita bisa berdiri dan bertahan di tengah goncangan yang luar biasa? Seperti 12 orang pengintai : 10 orang mengalami kegoncangan dan mundur, sedangkan yang 2 orang berkata, "Maju!" Oleh karena perbedaan pendapat maka timbullah polemik, yang bahkan menyebabkan 2 orang ini hampir dilempari dengan batu. Seandainya kejaiannya ada di gereja dan dilakukan voting, maka orang-orang Israel itu tidak akan pernah masuk ke Tanah Perjanjian. Tetapi untunglah cerita kita tadi tidak berbicara tentang voting yang seperti itu. Dua orang : Kaleb dan Yosua itu terus meyakinkan orang Israel untuk masuk ke Kanaan, meskipun nyawa mereka menjadi taruhannya. Ketika orang-orang hendak melempari Kaleb dan Yosua dengan batu, ketika itu pula Tuhan menunjukkan kemuliaan-Nya, sehingga semua orang mengakui bahwa memang mereka harus maju.
Apa yang membuat Kaleb dan Yosua ini menjadi orang yang berani mengambil resiko itu? Ada dua hal : yang pertama adalah kesabaran. Mereka tahu bahwa mereka telah berkeliling sekian tahun untuk masuk ke Tanah Perjanjian. Merekapun tahu serta ingat dengan baik bahwa Allah sudah memimpin mereka selama sekian tahun itu. Itu yang memberi makanan dan memberi kekuatan pada kesabaran mereka. Kesabaran yang dibentuk oleh ingatan yang kuat bahwa tidak mungkin Tuhan yang selama ini sudah memimpin dan menyatakan banyak mukjizat, hanya bertujuan untuk membuat mereka menyetorkan nyawa kepada bangsa lain. Mereka ingat sekali akan perbuatan Allah di masa lalu, dan ingatan itu membentuk kesabaran mereka.
Biasanya pergumulan dan permasalahan senantiasa membuat mata kita hanya melihat pada saat ini atau mungkin pada masa depan yang penuh kekuatiran. Tetapi dengan kesabaran dan ketabahan yang dibentuk oleh ingatan kita akan pertolongan Tuhan, kita diajak melihat "ke belakang" "Saya sudah hidup sekian tahun; sudah sekian banyak berkat Tuhan yang saya terima. Perbuatan-perbuatan Tuhan yang ajaib sudah pernah saya alami. Saat-saat yang luar biasa bersama Tuhan sudah pernah saya alami." Dengan mengingat semuanya itu, maka kita akan sabar di dalam kesesakan dan dalam pergumulan yang ada saat ini. Kita menjadi sadar Tuhan tidak mungkin meninggalkan kita.
Jadi ketika kita lemah dan tergoncang di dalam benturan itu, lihatlah ke "belakang". Lihat garis hidup kita di mana Allah telah berkarya memberikan berkat dan penyertaan-Nya. Lihat Allah yang telah membuat kita ada seperti sekarang ini. Akankah Ia yang sudah menopang hidup kita selama ini, akan menjadi Ia yang meninggalkan dan melepaskan kita ? Tidak mungkin, dan tidak akan terjadi mungkin! Ia pasti sedang membuka jalan.
Hal kedua yang membuat Kaleb dan Yosua bertahan, adalah karena mereka memiliki pengharapan. Mereka menyandarkan diri pada harapan bahwa sebentar lagi mereka masuk ke dalam Tanah Kanaan. Tuhan memenuhi janji-Nya kepada mereka dan mereka melihat janji Allah membuahkan hasil yang memuaskan, setara dengan upaya mereka bertahan di dalam goncangan. Bukankah memang harapan itu yang kita butuhkan di dalam hidup ini. Keyakinan bahwa ada sesuatu yang kita nantikan di masa depan. Ada Tuhan yang tidak buta dan tidak tuli; ada Tuhan yang maha melihat dan maha mendengar dan Ia akan melakukan sesuatu. Harapan semacam ini akan memberikan kekuatan yang luar biasa bagi kita untuk tetap bertahan meskipun situasi mencekam dan menekan kita.
Ketika manusia kehilangan harapan, ia sebenarnya sudah kehilangan semuanya. Mengapa banyak orang mengakhiri hidupnya? Mengapa orang memutuskan untuk lari meninggalkan Tuhan? Karena mereka kehilangan harapan. Mereka sudah tidak lagi berani berharap atau sudah tidak berani lagi menaruh harapannya kepada Tuhan. Padahal Ia sungguh layak dipercaya dan dapat disandari. Pengharapan kita pada Tuhan yang maha tahu dan maha melihat itu tidak akan pernah mengecewakan.
Ketika goncangan-goncangan hidup terjadi seperti gelombang-gelombang yang menyerang perahum, jangan menyerah! Jangan lari. Jangan kecewa. Jangan menyalahkan sesama. Terlebih lagi, jangan menyalahkan Tuhan. Sebaliknya, yakinlah bahwa ini bagian dari program Allah utnuk memperkuat iman kita. Allah menantikan kita untuk melalui saat itu, sehingga iman kita bertumbuh dan pengetahuan kita tentang Allah direntangkan. Pengalaman hidup kita bersama Allah akan diperkaya dan itu yang akan membentuk kehidupan kita dan yang akan membuat kita tangguh di dalam kehidupan ini. Untuk mencapai itu kita betul-betul memerlukan kesabaran dan harapan.
Kita boleh kehilangan semuanya di dalam hidup ini. Kita boleh mengalami beban yang luar biasa beratnya. Kita boleh memiliki pergumulan yang tak kunjung selesai tanpa jalan keluar, tetapi jangan pernah kehilangan kesabaran dan harapan. Ketika iman berbenturan dengan kenyataan, biarlah kesabaran dan pengharapan menopang hidup kita.

Catatan dari Tuhan

• Hari ini Aku akan menangani semua masalahmu
• Tolong, ingatlah bahwa Aku tidak memerlukan bantuanmu
• Bila kamu ditempatkan di dalam situasi yang kamu tidak mampu untuk menangani, janganlah berusaha untuk memutuskannya sendiri
• Lebih baik kamu masukkan ke dalam kotak “untuk ditangani oleh Tuhan sendiri”
• Masalah itu akan ditanggapi pada waktuKu, dan bukan waktumu
• Sekali masalah itu diletakkan di dalam kotak, janganlah kamu memikirkan atau mengeluarkannya lagi dari kotak itu.
• Memikirkan atau mengeluarkan kembali akan menunda pemecahan dari masalahmu
• Bila kamu mengira dapat menanganinya sendiri, tolong bawalah ke dalam doa-doamu, agar kamu yakin bahwa itulah pemecahan yang terbaik.
• Karena Aku sendiri tidak pernah tidur atau mengantuk, tidak ada gunanya bagimu untuk tidak tidur
• Istirahatlah, anakKu. Bila kamu ingin menghubungi Aku, Aku hanya sejauh sebuah doa
• Bila kamu sukar untuk tidur malam ini, ingatlah akan banyak keluarga yang bahkan tidak mempunyai tempat tidur untuk merebahkan dirinya
• Bila kamu kebetulan terjebak dalam kemacetan lalu lintas, janganlah cemas. Ada banyak orang dalam dunia ini yang tidak pernah menyetir mobil
• Bila kamu kebetulan mengalami hari yang sial, ingatlah akan orang yang sudah begitu lama tidak mempunyai pekerjaan
• Bila kamu cemas akan suatu hubungan kawan yang menjadi jelek, ingatlah akan orang yang tak pernah mengalami apa arti mengasihi dan sebaliknya dikasihi
• Bila kamu tidak suka bila akhir minggu telah lewat, ingatlah kepada wanita yang harus bekerja 12 jam sehari, selama satu minggu penuh untuk dapat memberikan makan kepada anak-anaknya
• Bila mobilmu rusak di tengah perjalanan, jauh dari keramaian kota untuk dapat bantuan, ingatlah akan mereka yang lumpuh yang akan gembira sekali untuk dapat berjalan
• Bila kamu mengamati dengan sedih sehelai rambut yang mulai memutih, ingatlah akan pasien kanker yang menjalani terapi kemo yang rindu dapat mengamati rambutnya
• Bila kamu tidak tahu dan bertanya-tanya, apakah sebenarnya tujuan hidupmu, berterima kasihlah. Terdapat banyak orang yang tidak memiliki umur panjang untuk mengetahuinya
• Bila kamu memutuskan untuk meneruskan ini kepada seorang kawan, kamu mungkin akan menjadi berkat bagi orang itu

Haruskah aku mencintaimu ?

Saudaraku,
Saat-saat ini aku masih berpikir dan menimbang-nimbang, apakah aku harus mencintaimu setulus hatiku? Apa pentingnya mencintaimu? Toh sudah banyak yang memperhatikan dan melayanimu!! Siapakah aku ini sehingga aku tergerak untuk memperhatikanmu juga? Namun, apa yang bisa kuandalkan dalam diriku untuk mencintaimu? Aku tidak memiliki apapun untuk diberikan padamu! Bagaimana aku bisa mencintaimu tapi aku tidak memberi apapun padamu?
Sahabatku,
Sebelum kujawab pertanyaanmu, aku ingin memanggilmu bukan Saudaraku tapi Sahabatku. Aku ingin mengatakan padamu, "Mengapa engkau masih berpikiran, bahwa cinta itu harus memberi apa yang dimilikinya? " Cinta itu bukanlah memberi apa yang engkau miliki secara fisik saja! Cobalah perhatikan, janin dalam kandungan ibunya, anak-anak kecil, sampai remaja, yang masih tergantung kebutuhan hidup pada orang tuanya, bahkan anak anak cacat pun mampu mencintai orang tua dan saudara-saudaranya. Seorang anak dalam rahim ibu mencintai dengan kondisinya yang terbatas, ia mempercayakan pertumbuhan dan berkembangnya tubuh pada keputusan dan tindakan ibu dan ayahnya. Anak itu tidak memiliki "daya untuk membela diri": dia pasrah untuk dirawat dan dibesarkan orang tuanya. Anak yang cacat dan memiliki kebutuhan "khusus" selalu menawarkan kesempatan untuk diperhatikan, disayang, dilayani dan diistimewakan. Hidupnya yang terbatas menciptakan "kesempatan terindah dalam sejarahnya", yakni kesempatan bagi orang lain untuk terlibat dalam kesulitan hidupnya. Tanpa disadari, mereka pun mendewasakan orang yang normal fisik dan jiwanya...untuk tumbuh dan berkembang sebagai pribadi yang mampu mencintai.
Saudaraku,
Setelah mendengarkan penjelasanmu, rasanya "dalam kesempatan" itu tersembunyi "kehendak bebas". Anak-anak yang kecil, remaja, bahkan mereka yang cacat selalu menawarkan kesempatan untuk diperhatikan dan dilayani. "Kesempatan" itu sebuah "ruang" yang membuat orang mampu untuk ambil keputusan. Masalahnya bagaimanakah kita menemukan "kesempatan- kesempatan" itu kalau kita masih takut mengalami kesepian, takut ditinggalkan, masih kuatir dengan masa depan, takut tidak ada sahabat yang menyapa lagi, takut masalah tidak selesai, kuatir tidak lagi punya rejeki dst. Dalam kekuatiran dan bahkan ketakutan, menghambat kita untuk melihat "dunia di luar sekitar kita". Ada banyak orang: anak anak, remaja, orang kecil, orang lemah, orang putus asa, orang lapar, orang tahanan, ...mereka jelaslah menawarkan "kesempatan untuk dilayani". Kesempatan itu akan kita kenal, kalau kita mulai belajar percaya, bahwa hidup ini milik Tuhan. Hidup anak-anak dalam kandungan ibunya, anak balita, remaja, dan anak anak cacat, adalah milik Tuhan. Merekapun secara pribadi , sungguh istimewa dalam hidup Tuhan. Mereka juga adalah citra Allah, tanda kehadiran Tuhan.
Sahabatku,
Kata-katamu meneguhkan aku! Justru karena manusia itu citra Allah, milik Tuhan, dan hidup kita semua milik-Nya, itulah yang menantang dan menggerakkan kehendak bebas kita untuk saling mengasihi, bukan untuk saling menindas.
Saudaraku,
Tanpa disadari, pertanyaanku akhirnya terjawab ya! Tidak ada keharusan untuk mencintai, tetapi yang ada adalah pilihan untuk "ambil keputusan mencintai dengan kehendak yang sungguh sungguh bebas, bukan terpaksa mencintai".
Warm regards!

Kasih yang berkorban

Ada seorang ibu mempunyai tiga orang anak. Ketika hujan turun dengan derasnya, sang ibu sambil duduk menulis surat dengan serius. Datanglah anak pertama dan berkata kepadanya, "Bu, aku mengasihimu!"
Mendengar kakaknya berkata demikian, adik kedua tidak mau ketinggalan. Ia datang mendekati ibunya, lalu berkata pula, "Ibu, di antara kami bertiga, akulah yang lebih mengasihi ibu!"
Si bungsu yang memperhatikan dengan serius tindakan kedua kakaknya, segera meninggalkan mainannya, lalu datang kepada ibunya. Si bungsu tidak berkata apa-apa, tetapi ia langsung memeluk ibunya dengan penuh kasih. Setelah itu mereka kembali ke tempatnya masing-masing. Setelah selesai menulis, pada saat itu di luar rumah hujan sangat deras disertai guruh dan kilat yang sambar-menyambar, dan sang ibu memanggil anak-anaknya dan menyuruh mereka untuk mengeposkan surat tersebut.
Sang ibu menekankan bahwa surat itu sangat penting dan harus segera dikirim. Anak yang pertama beralasan, "Bu, di luar hujan, aku tidak bisa pergi." Datanglah anak yang kedua dan beralasan, "Bu, aku lagi mengerjakan PR, harus selesai sore ini."
Si bungsu diam-diam mengambil mantel dan berkata sambil tersenyum, "Bu, saya yang akan mengantarkan surat ke kantor pos." Sahut ibunya, "Sabar nak, di luar masih hujan." Si bungsu mengambil surat itu lalu pergi mengantarkannya ke kantor pos, meskipun hari masih hujan.
Seringkali kita berkata kepada orang tua kita, "Bapa, mama, aku mengasihimu." Tetapi itu hanyalah ucapan yang keluar dari mulut, dan bukan dari dasar hati yang terdalam. Dalam kenyataan, ucapan kita cenderung seperti anak yang pertama dan kedua di saat kita menyatakan kasih kepada orang tua dan sesama kita. Sebenarnya kita tidak perlu mengucapkan kata-kata manis untuk mengungkapkan bahwa kita mengasihi orang tua dan sesama kita, melainkan melalui sikap dan tindakan nyata yang benar-benar tulus.
Sering kita berkata-kata kepada Tuhan, "Tuhan saya mengasihiMu.....", namun kita hanya berkata-kata saja tanpa dengan tulus hati mengasihiNya...tanpa mewujudkannya melalu perbuatan kita.....
Guys, ayo kita menjadi seperti anak bungsu pada renungan diatas.....

KERUKUNAN: HIDUP BERDAMPINGAN DENGAN ORANG YANG BERBEDA PANDANGAN/ORIENTASI HIDUP” (Galatia 4)

Pengantar.
Ayat-ayat yang ditentukan menjadi epistel ini nampaknya mau mengungkapkan satu teologi yang bukan berdasarkan nas yang tertulis dalam Alkitab. Sebab menurut Lembaga Alkitab Indonesia (LAI) Galatia 4 itu terdiri dari tiga nas (kelompok ayat berdasarkan isi):
1. Ayat 1 – 11 berisi penjelasan bahwa tidak ada lagi perhambaan.
2. Ayat 12 – 20 berisi tentang penjelasan hubungan Rasul Paulus dengan jemaat Galatia.
3. Ayat 21 – 31 berisi tentang fungsi hukum Taurat yang ada di Perjanjian Lama bagi umat kristen (yang percaya kepada Yesus). Dalam hal ini Rasul Paulus mengambil contoh atau gambaran Hagar dan Sara dalam kehidupan Abraham.
Sehubungan dengan itu saya lebih dahulu memberi penjelasan tentang maksud nas ke tiga ini berdasarkan pembagian nas menurut LAI dan kemudian mencoba memberi penjelasan sesuai tema minggu “Kerukunan: Hidup berdampingan dengan orang yang berbeda pandangan/orientasi hidup”.

INJIL DAN HUKUM TAURAT

Jadi hukum Taurat adalah penuntun bagi kita sampai Kristus datang, supaya kita dibenarkan karena iman (Gal.3:24).

Seorang anak remaja bertanya kepada pendeta: “Pak pendeta! Mengapa tidak kita lakukan semua yang tertulis dalam kitab ‘Musa’ yaitu tentang Hukum Taurat?” “Berilah contohnya!”, kata pendeta. “Sunat (Kej.34:22), pantang makan darah (Im.17:10-12), hari Sabat (Kel.20:8-11) dan masih banyak lagi”, kata remaja itu. Pendeta memberi penjelasan: “Tentang hal itu, Yesus pernah berkata: Aku memberikan perintah baru kepada kamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi; sama seperti Aku telah mengasihi kamu demikian pula kamu harus saling mengasihi (Yoh.13:34), di tempat lain, Yesus juga berkata bahwa bukan hal-hal yang lahiriah (harfiah) dalam hal melaksanakan hukum Taurat, tetapi lebih kepada yang rohani, yang dari perasaan seperti keadilan, kejujuran dan yang sejenisnya (bnd. Luk.11:37-52)”. Pertanyaan si remaja di atas juga menjadi masalah di jemaat Galatia setelah Rasul Paulus meninggalkan Galatia.
Salah satu masalah yang mau diselesaikan Rasul Paulus melalui surat Galatia ialah pendapat yang mengatakan bahwa “menjadi kristen yang benar harus melakukan Hukum Taurat secara murni dan konsekwen”. Pendapat ini datang dari orang-orang kristen Galatia yang berlatar-belakang Yudaisme (kejahudian; agama dan adat-istiadat Yahudi). (catatan: yang dimaksud dengan Hukum Taurat Yahudi ialah seluruh yang tertulis dalam kitab Kejadian sampai Ulangan. Kitab-kitab inilah yang disebut Kitab Taurat orang Yahudi). Rasul Paulus tidak setuju penggunaan hukum Taurat secara hurufiah, karena hukum Taurat tertulis adalah mematikan (bnd. 2Kor.3:6). Kita tidak bisa membayangkan seperti apa kekristenan seandainya mengikuti pendapat orang Kristen yang berlatar-belakang Yahudi itu.
Contoh yang dipakai Rasul Paulus untuk menjelaskan makna hukum Taurat ialah Hagar dan Sara, yang keduanya melahirkan anak bagi Abraham. Hukum Taurat tertulis adalah ibarat Hagar dan anak yang dia lahirkan Ismail, dan ‘hukum anugerah’ adalah ibarat Sara dan anaknya Ishak. Kedua-duanya adalah untuk Abraham. Ismail dan Ishak sama-sama anak Abraham, tetapi Ismail terusir dari Abraham (Kej.21:14). Hagar dan Ismail terusir dari keluarga Abraham setelah Sara melahirkan Ishak. Hagar dan Ismail berguna bagi Abraham sebelum Ishak lahir. Karena Hagar menyombongkan diri terhadap Sara maka dia dan Ismail diusir dari kehidupan Abraham. Inilah gambaran yang dibuat Paulus untuk menjelaskan hukum Taurat tertulis dengan Firman Tuhan di dalam Yesus Kristus.
Menurut Rasul Paulus bahwa hukum Taurat adalah penuntun (Batak: siparorot) (Gal.3:24). Yang dituntun (diparorot) biasanya adalah anak kecil usia di bawah satu tahun sampai dua tahun, biasa disebut ‘batita atau balita’ dimana pada saat si anak telah menanjak usia dua tahun ke atas dia tidak lagi dituntun untuk berjalan. Hukum Taurat sebagai ‘penuntun’ memberi arti bahwa pada satu saat yang dituntun akan bebas dari yang menuntun, yaitu ketika si anak telah dewasa. Gambaran itulah yang diberikan Rasul Paulus untuk menjelaskan fungsi hukum Taurat dalam sejarah bangsa Yahudi.
Keadaan dewasa yang dimaksudkan Rasul Paulus ialah ketika Yesus Kristus telah datang dan manusia telah menaruh percaya kepada-Nya. Rasul Paulus memberitakan Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat dimana Dia telah mengajar manusia untuk hidup sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah. Yesus mengajar murid-murid-Nya dan masyarakat banyak untuk menerima ‘perintah yang baru yaitu kasih (Yoh.13:34) agar manusia melakukan kasih terhadap Allah, terhadap sesamanya manusia dan terhadap seluruh yang diciptakan Allah.

KERUKUNAN
Hidup berdampingan dengan orang yang berbeda pandangan/orientasi hidup.

Nas di atas (Gal.4:22-28) adalah analisis Rasul Paulus tentang cerita Hagar, Sara dan Abraham yang tertulis dalam kitab Kejadian 16 dan 21. Dari kacamata kristiani, ada dua tindakan Abaraham yang salah dalam cerita Kejadian 16 dan 21:
1. Tindakan Abraham yang beristeri dua. Abraham memperisteri Hagar sebagai isteri kedua atas kekwatiran tidak punya keturunan lagi dari isteri pertama Sara. Rasul Paulus melarang beristeri dua (1 Tim.3:2, 12).
2. Tindakan Abraham yang mengusir Hagar dari rumahmya (Kej.21). Abraham mengusir Hagar karena dorongan Sara, dimana menurut Sara, Hagar menyakiti hatinya karena dia mandul (Kej. 21: 8-21). Rasul Paulus memaknai pengusiran Hagar itu sebagai cara untuk menjelaskan siapa anak “kedagingan” dan siapa anak “perjanjian”. Ismail anak Hagar adalah anak kedagingan dan Ishak anak Sara adalah anak perjanjian. Dari sudut pandang kekristenan hal “pengusiran” tersebut tidak dapat dibenarkan. Yesus pernah berkata: “Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu” (Mat.5:44; Luk.6:27, 35).
Ajaran Yesus yang menyuruh para pengikutnya mengasihi musuh, adalah ajaran yang sangat revolusioner bagi mereka yang hidup dalam hukum atau adat-istiadat pembalasan. Kita tau bahwa dalam hukum atau adat-istiadat Yahudi berlaku hukum pembalasan. Tertulis: “... sebab berlaku: nyawa ganti nyawa, mata ganti mata, gigi ganti gigi, tangan ganti tangan, kaki ganti kaki (Ul.19:21; bd. Kel. 21:23).
Beberapa resep yang dapat ditawarkan agar orang yang berbeda pandangan/orientasi hidup dapat hidup berdampingan:
1. Menyadari dengan sungguh-sungguh bahwa perbedaan yang terdapat dalam diri setiap orang, setiap suku bukanlah ciptaan manusia akan tetapi ciptaan Tuhan. Jadi, menerima perbedaan berarti mempercayai Tuhan sebagai Pencip dan Maha Kuasa.
2. Menerima perbedaan apa adanya.
3. Berusaha menemukan kesamaan, dan bukan sebaliknya.
4. Melaksanakan secara bersama-sama apa yang mungkin menjadi kebutuhan bersama seperti memerangi kemiskinan, kebodohan, pengrusakan lingkungan hidup.

Siapa Sesamaku? (Lukas 10:25-37)

Tujuan:
Umat Tuhan memahami panggilannya sebagai orang percaya yang diberi sesama untuk dikasihi sebagai refleksi dari mengasihi Tuhan Allah.
Pengantar
Cerita ini memberikan suatu gambaran lengkap mengenai pemuridan Kristen dalam istilah kasih kepada sesama dan kasih kepada Tuhan. Keduanya digabungkan untuk melukiskan jalan kepada kehidupan kekal yang diberikan dalam jawaban ahli Taurat.
Ketika ia menjawab dengan pertanyaan mengenai kasih kepada Allah dan kasih kepada sesama, ahli Tarurat mengutip doa Ibrani (Ulangan 6:4-5) menghubungkan ucapan dari Imamat 19:18. Gabungan ini jelas aslinya dari Yesus, yang digunakan oleh ahli Taurat ketika Yesus balik bertanya kepadanya. Untuk membenarkan diri ia membangkitkan perdebatan mengenai siapa sebenarnya sesama itu.
Cerita mengenai orang Samaria yang baik hari, dalam perumpamaan ini, untuk menentang suatu pola pikir yang salah tetapi diterima, sehingga nilai-nilai dari kerajaan Allah dapat masuk ke dalam sistem yang ketat. Hal ini dilakukan dengan menunjukkan seorang Samaria, anggota dari kelompok yang dihina, dicemooh, dan direndahkan oleh orang-orang Yahudi, melakukan perlayanan kasih yang dihindari oleh para pemimpin agama Yahudi. Ini mengejutkan dan bagi banyak orang Yahudi tidak dapat menerimanya.
Cerita ini begitu diterima seperti apa adanya juga memberikan suatu contoh yang hidup mengenai pemenuhan perintah mengasihi. Pertanyaan ahli Taurat meliputi orang yang bukan sesamaku. Cerita Yesus menjawab bahwa tidak ada orang yang bukan sesamanya. Sesama bukanlah soal darah, atau kebangsaan, atau persekutuan keagamaan, tetapi ditentukan oleh sikap yang dimiliki seseorang terhadap orang lain.
Imam dan orang Lewi tahu benar mengenai perintah Allah, dan seperti ahli Taurat pasti dapat menafsirkannya bagi orang lain. Tetapi mereka tidak memberlakukan dalam kehidupan nyata (terhadap korban perampokan), sementara orang Samaria dapat melaksanakan kasih dalam wujud perhatian dan pertolongan tanpa melihat latar belakang dari korban tersebut.
Pertanyaan
1.Mengapa ahli Taurat mencobai Tuhan Yesus? Apakah kita juga pernah melakukannya, mencobai Tuhan Allah, dalam hal apa?
2.Kriteria apa yang kita anggap sebagai sesama kita? Dan mengapa seperti itu?
3.Kita sebagai pribadi atau persekutuan bisa menempatkan diri di mana? Sebagai imam, orang Lewi, atau orang Samaria?
4.Apa hubungan antara mengasihi sesama dengan hidup kekal?

Doa yang Berpengharapan (Markus 11:20-26)

Pendahuluan
Doa adalah salah satu sarana manusia (yang percaya) untuk berhubungan dengan Tuhan. Terkabulnya doa menjadi harapan setiap orang percaya sekaligus sebagai bukti bahwa Tuhan Allah membedakan dengan orang yang tidak percaya bahkan orang yang beragama bukan Kristen. Gejala umum yang muncul dan sering terjadi adalah bahwa orang baru datang dan berdoa kepada Tuhan jika ia membutuhkan sesuatu dari Tuhan, sehingga doanya hanyalah sederet daftar permintaan. Orang yang berdoa tentu sudah memiliki iman bahwa Tuhan akan mengabulkan atau dapat memberikan apa yang dimintanya. Namun, demikian, dalam kenyataan ada banyak orang yang mengalami bahwa tidak atau belum dijawab: yang sakit belum dapat kesembuhan, kesuksesan dalam usaha atau kariet, mendapatkan jodoh tak kunjung dialami. Dan banyak hal lain yang senada bahwa doanya tidak atau belum dijawab Tuhan.
Kenyataan akan doa yang tidak atau belum terjawab terkadang menimbulkan pendapat-pendapat yang menyudutkan pendoa, misalnya: imannya lemah, doanya tidak disertai usaha, dosanya banyak, dia mendapat hukuman Tuhan, dll. Bagi pendoa bisa memunculkan pandangan negatif, bahwa Tuhan tidak peduli, Tuhan tidak lagi mengasihi, dll. Hal ini semakin menambah beban secara psikis dan spiritual bagi dirinya, sehingga semakin rumit yang dihadapi berkaitan dengan hubungannya dengan Tuhan.
Penafsiran
Di dalam perikop yang kita baca, Tuhan Yesus memberikan pengajaran mengenai doa atau permintaan kepada Tuhan. Kisah yang diawali dengan peristiwa disuatu pagi dimana mereka, Yesus beserta para murid-Nya memulai aktivitasnya. Mereka melihat pohon ara yang kering hingga ke akarnya.
Hal ini mengingatkan Petrus pada kejadian sebelumnya (11:12-14). Yesus mengajarkan bahwa percaya kepada Allah, iman yang teguh dan tidak bimbang, memiliki peranan besar dalam terpenuhinya permintaan; tidak hanya membuat pohon menjadi kering, melainkan bisa memindahkan gunung dan mencampakkannya ke laut. Yesus ingin menegaskan betapa penting iman atau kepercayaan itu di dalam orang menjalani hidupnya. Kepercayaan ini mengandung makna kepasrahan, bahwa apapun yang terjadi pada diri seseorang menyangkut doa atau permintaannya adalah jawaban Tuhan. Bahwa orang yang berdoa menyerahkan sepernuhnya apa yang dimintanya kepada Tuhan. Sebagai konsekuensinya, orang tersebut memahami bahwa Tuhan menjawab doanya, apa saja yang dialami; apakah sesuai dengan keinginannya atau tidak.
Apabila seseorang masih mempertanyakan, bahwa Tuhan belum memenuhi permintaannya sesuai dengan waktu yang dikehendakinya, bahwa merasa sama sekali Tuhan tidak menjawab doanya, ia harus menyadari, bukankah Tuhan lebih tahu apa yang manusia butuhkan? Jadi, kita perlu menyadari dan memahami bahwa pemenuhan terhadap permintaan kita tidak selalu harus sesuai dengan waktu dan persis dengan keinginan kita. Tuhan punya waktu penentuan sendiri. Ia juga menggunakan bentuk-bentuk pemenuhan sesuai dengan kehendak dan rancangan-Nya bagi kita. dengan kata lain, jika kejadian yang kita alami tidak sesuai denagn permintaan kita kepada-Nya, bukan berarti Ia tidak menjawab doa yang kita sampaikan. Yang perlu dilakukan orang adalah menyerahkan segala permintaannya kepada Tuhan, sebagaimana yang dikatakan Yesus di ayat 24, ‘… percayalah bahwa kamu telah menerimanya, maka hal itu akan diberikan kepadamu.’
Doa dalam kepasrahan harus disertai dengan sikap hidup yang baik, yaitu bahwa orang perlu mengampuni orang lain yang berbuat salah. Setiap orang tidak ada yang luput dari dosa. Ia membutuhkan pengampunan Tuhan dan sebelum ia datang memohon pengampunan Tuhan, Ia sudah terlebih dahulu mengampuni orang yang bersalah kepadanya. Pengampunan kesalahan orang lain bahkan dijadikan syarat menerima pengampunan Tuhan (ayat 26). Jadi di dalam berdoa, orang perlu memiliki iman yang teguh, tidak bimbang disertai semangat / kesediaan mengampuni dan menjaga kekudusan hidup / tidak berbuat dosa lagi.
Pertanyaan untuk relevansi
1.Bagaimana sikap yang benar di dalam kita berdoa?
2.Apakah gereja perlu menentukan waktu atau berapa kali dalam sehari kita berdoa, mengingat banyak orang berdoa ketika ia membutuhkan sesuatu keapda Tuhan, mengapa?
3.Bagikan pengalaman doa Saudara berkaitan dengan jawaban Tuhan!
4.Bagaimana Saudara memahami ayat 23, diskusikan!