Minggu, 14 Desember 2008

Ketika Allah Melawat Kita


KETERPISAHAN, keterasingan, ketidakbebasan, keterpenjaraan, ketiadaan harapan adalah kondisi-kondisi yang secara realistik membuat manusia mengalami penderitaan yang amat dalam. Seseorang yang dipisahkan dari lingkungan keluarganya; yang diasingkan dari negeri yang dicintainya; yang kehilangan pengharapan masa depan adalah mereka yang menapaki kehidupan dengan penuh penderitaan.

Realitas penderitaan seperti itu pada gilirannya dapat mengancam kehidupan manusia. Apalagi jika seseorang terus-menerus dicekam rasa putus asa dan tidak mendapatkan penghiburan, penguatan, atau pendampingan dari pihak lain. Hari-hari ini tatkala gereja-gereja dan umat Kristen memasuki Natal, 25 Desember 2003, ada aspek penting yang dapat digarisbawahi dalam konteks mengatasi realisme penderitaan.

Peristiwa Natal, hari kelahiran Yesus Kristus, sejatinya memberi perspektif dan kelahiran dalam arti yang biasa. Natal bukan peringatan hari ulang tahun atau peringatan hari kelahiran dalam arti yang biasa. Natal adalah peristiwa yang di dalamnya Allah melawat manusia. Allah membebaskan dan memberdayakan manusia. Amatlah tepat ketika dalam Injil Lukas, Zakaria dengan kekuatan Roh Kudus melantunkan pujian. "Terpujilah Tuhan, Allah Israel sebab Ia melawat umat-Nya dan membawa kelepasan Bagi-Nya" (Lukas 1:68)

Pujian Zakaria ini mengungkapkan pokok-pokok yang amat penting dan mendasar dalam konteks kehidupan manusia "Allah melawat umat-Nya." Itu berarti bahwa Allah tidak tinggal diam terhadap umat-Nya. Allah tidak membiarkan umat-Nya berjalan sendiri menapaki jalan penderitaan. Allah concern, Allah peduli, Allah prihatin terhadap umat-Nya. Kata 'melawat' mengandung arti 'mengunjungi', menjenguk mereka yang dilanda kesulitan.

Melawat, berarti melihat secara langsung, tidak hanya memantau dari jauh, menunggu laporan. Melawat adalah cheking on the spot. Melawat juga berarti ungkapan adanya sikap solidaritas, adanya upaya membina komunikasi/relasi yang lebih baik dengan orang lain. Dalam pujian Zakaria, Allah tidak sekadar melawat tapi Ia juga membawa kelepasan bagi umat yang tengah mengalami penderitan, mereka yang dirundung pesimisme didatangi Allah dan dibebaskan dari pemasalahan yang mereka hadapi. Inilah suatu kabar kesukaan bagi manusia.

Allah Sang Pembebas yang melawat umat-Nya adalah yang melepaskan umat dari musuh serta orang-orang yang membenci mereka. Inilah rahmat Allah yang sejak lama dijanjikan, bahkan telah diucapkan sejak zaman Abraham. Muara dari semua tindakan pembebasan Allah itu adalah seluruh umat dapat beribadah kepada-Nya tanpa takut, dalam kekudusan dan kebenaran di hadapan-Nya (Luk, 1:74,75). Kata 'melepaskan' mengacu pada pengertian membebaskan umat manusia yang terbelenggu oleh rantai-rantai dosa, yang terpenjara oleh berbagai hal, umat yang berada dalam cengkeraman keputus-asaan sehingga mereka bisa menghirup udara baru yang dipenuhi masa depan ceria.

* * *

Allah yang dipuji oleh Zakaria dalam nyanyian pujiannya ini adalah Allah yang bertindak dalam sejarah. Allah yang bergerak, Allah yang benar-benar prihatin dengan pergumulan hidup manusia. Allah bukanlah hanya kuasa transenden, kuasa yang melihat dari 'atas'. Dia juga terlibat dalam sejarah manusia: Dia adalah Immanuel, Allah beserta kita, Dia Immanen, Dia tinggal bersama kita.

Itulah sebabnya juga Yesaya menyatakan: "Seorang anak telah lahir untuk kita, seorang Putra telah diberikan untuk kita" (Yes, 9:5a). Anak Allah lahir untuk seluruh umat manusia dan dunia, bukan untuk sekelompok orang. Bahkan menurut Yesaya di bawah kuasa-Nya damai dan sejahtera terwujud senantiasa karena kekuasaan itu ia dasarkan pada keadilan dan kebenaran. Anak yang lahir disebut Yesus Kristus, yang kelahirannya diperingati setiap kita merayakan Natal. Allah itulah yang kita panggil Bapa dalam Yesus Kristus, Allah yang telah datang ke dalam dunia, melawat kita serta membebaskan kita umat manusia.

Dunia yang dihidupi manusia sekarang ini bukan lagi sebuah dunia yang ramah dan damai. Dunia telah dipenuhi kekerasan, amuk, dendam, bom yang menimbulkan ketakutan dan distorsi dalam kehidupan umat manusia. Sebuah etik global yang digagas Hans Kung sejak 1993 yang di dalamnya perdamaian, penghargaan terhadap harkat dan martabat manusia mendapat tempat utama, belum juga mewujud. Di tengah-tengah ancaman terhadap kemanusiaan, Allah datang melawat manusia.

Allah dari tempat yang tinggi, yang Kudus dan Agung, datang melawat kita yang sedang bergumul di tengah dunia. Seorang anak telah lahir untuk kita, seorang Putra telah diberikan untuk kita. Kehadiran Allah ini adalah kehadiran yang memberdayakan manusia, karena manusia dalam dirinya sendiri tidak mampu melakukan apa pun. Jika Allah malawat kita, berarti dia hadir di tengah degup pergumulan kita, Dia tinggal bersama kita, Dia solider dengan kita.

Lawatan Allah ini harus mendorong kita untuk makin mengungkapkan solidaritas kita dengan mereka yang lemah dan menderita, dengan mereka yang tercecer di pinggir-pinggir kehidupan. Pembangunan yang kita laksanakan, hendaknya juga mencerminkan solidaritas kita dengan mereka yang miskin dan papa.

Natal sekaligus adalah peneguhan janji Allah, bahwa ia akan menyelamatkan manusia. Mereka yang diam dalam kegelapan dan dalam naungan maut akan diterangi oleh Dia, sehingga kita semua diarahkan kepada jalan damai sejahtera. Sediakah kita disinari oleh terang itu, dan terbukakah hati kita untuk menerima lawatan Allah itu? Perayaan Natal yang di dalamnya Allah memberdayakan kita, melalui kelahiran anak-Nya yang tunggal Yesus Kristus, kiranya memacu kita untuk tampil dengan berani dalam memberdayakan manusia sambil meninggalkan sikap memperdayakan orang lain.

Natal seharusnya memacu kita untuk mengembangkan sikap inklusif, tepaselira, tenggang rasa, penuh kerukunan, tanggung jawab, senasib sepenanggungan, dan membuka diri bagi 'intervensi' Allah. Sehingga Ia membebaskan jalan-jalan gelap kita menjadi jalan-jalan terang yang bermakna bagi orang banyak. Dengan pengembangan sikap positif seperti itu, kekristenan di Indonesia mampu memberi kontribusi positif bagi bangsa. Sehingga ia dapat berperan sebagai pilar-pilar penyangga bagi sebuah Indonesia yang utuh, kukuh, teguh cerdas, adil, dan bersatu dalam masyarakat majemuk Indonesia. (Media Indonesia, 241203)

Tidak ada komentar: