Jumat, 26 Juni 2009

Getsemani


Seiring bergaungnya demokrasi di negeri ini, sejak Juni 2005, proses pemilihan kepala daerah (pilkada) berlangsung dengan marak di hampir seluruh provinsi di Indonesia. Tahun ini tercatat lebih dari 30 pilkada tingkat provinsi, kabupaten dan kota yang dijadwalkan berlangsung tahun ini. Belum lagi kalau tahun 2009 sebagai tahun pemilihan presiden (pilpres), lengkap sudah kita nobatkan masa-masa ini sebagai masa pencarian pemimpin.
Bicara tentang pencarian pemimpin, kriteria apa yang kita cari dari seorang pemimpin? Kepandaiankah, kekayaan, atau kecakapan dan kemampuan sosial? John C Maxwell pernah mengatakan, kepemimpinan dimulai dari dalam diri sendiri. Orang yang mampu menguasai diri sendiri barulah bisa dan mampu menguasai orang lain. Smith menambahkan, pemimpin yang baik adalah pemimpin yang mengasihi pengikutnya dan mampu memunculkan yang terbaik dari diri pengikutnya.
Bagaimanakah potret pemimpin yang mampu menguasai diri sendiri? Menjelang masa Paskah ini, penulis mengajak kita semua untuk meneladani potret sejarah dalam diri Yesus Kristus yang mampu mengalahkan diri sendiri untuk mendatangkan yang terbaik dari diri pengikut-Nya.
Ujian atas kepemimpinan terjadi di masa krisis. Pemimpin yang hebat adalah pemimpin yang mampu melalui masa-masa krisis dalam hidupnya dan bertumbuh semakin besar sebagai pemimpin yang agung. Sejarah membuktikan bahwa Sukarno, Gandhi, Churchill, Martin Luther dan sederetan pemimpin besar lainnya lahir dan dibesarkan dalam situasi krisis.
Seorang pemimpin terbesar yang pernah mengalami krisis terbesar di sepanjang hidupnya adalah Yesus Kristus dari Nazaret. Alkitab memberi kesaksian, sejak kelahiran-Nya sampai dengan kematian-Nya, kehidupan Yesus penuh dengan krisis.
Kelahiran Yesus diawali dengan pengejaran dan pembunuhan bayi besar-besaran oleh penguasa Romawi saat itu, Raja Herodes. Luput dari upaya percobaan pembunuhan, selama hidupnya Yesus harus bersitegang setiap saat dan hidup dalam tekanan dari kaum Farisi, Saduki dan ahli Taurat Yahudi. Bahkan krisis dalam hidup-Nya harus dialami sampai pada kematian yang hina di kayu salib. Sejak lahir sampai pada matinya, Yesus senantiasa di dalam lingkaran krisis.
Satu momen paling krisis dalam kehidupan Yesus adalah momen di taman Getsemani. Di bukit Zaitun pada malam terakhir sebelum peristiwa penangkapan dan penyaliban-Nya, Yesus mengalami masa krisis yang terbesar dalam hidupnya, bahkan mengalami krisis terbesar yang pernah dihadapi manusia sepanjang sejarah. Matius, Markus dan Lukas secara terpisah menggambarkan peristiwa ini dengan rinci dan detail.
Bergumul sendiri
Kisah ini dimulai dengan keberangkatan Yesus sebagai biasa ke taman Getsemani. Lukas 21:37 mencatat bahwa pada siang hari Yesus mengajar di bait Allah dan pada malam hari dia keluar dan bermalam di gunung yang bernama bukit Zaitun. Malam itu, tidak seperti biasanya, Yesus meminta pada sembilan orang muridnya untuk duduk menunggu dan berdoa di salah satu bagian taman sementara dia membawa Petrus, Yakobus dan Yohanes untuk berdoa.
Di dalam rasa takut dan gentar, Yesus menjauhkan diri dari ketiga orang murid terdekatnya itu dan berdoa seorang diri. Yesus menghadapi masa paling krisis di dalam hidupnya sendirian. Dia tahu jelas, sebagai seorang pemimpin, beban krisis ini hanya bisa dihadapi sendiri olehnya. Kisah selanjutnya menunjukkan dengan nyata, setelah tiga kali Yesus berdoa dan kembali kepada murid-murid-Nya, Yesus menemukan mereka sedang tertidur karena dukacita.
Matius dan Markus mencatat kalimat Yesus sebelum dia menjauhkan diri untuk berdoa, "Hatiku sangat sedih, seperti mau mati rasanya. Tinggalah di sini dan berjaga-jagalah dengan Aku." Di dalam seluruh bagian Alkitab, hanya di dalam peristiwa inilah dicatat sekali-kalinya dengan tegas bahwa Yesus merasa sangat sedih dan berat, bahkan seperti mau mati rasanya.
Ayat terpendek di dalam Alkitab, yakni Yohanes 11:35 menulis: Maka menangislah Yesus. Dalam malam terakhir kehidupan-Nya, Alkitab tidak mencatat fakta Yesus menangis di taman Getsemani, tetapi sebaliknya menceritakan kepada kita betapa Yesus merasakan emosi yang lebih dalam dari sekedar meneteskan air mata.
Diungkapkan di dalam kitab suci, Yesus merasa sangat sedih dan berat, bahkan seperti mau mati rasanya. Di dalam dunia psikologi, apa yang dialami Yesus bisa digambarkan sebagai suatu emosi kesedihan yang begitu dalam, duka yang begitu mengiris hati. Apa yang menyebabkan Yesus merasa begitu berat dan sedih?
Lukas 22:41-42 melanjutkan, Kemudian Ia menjauhkan diri dari mereka kira-kira selemparan batu jaraknya, lalu Ia berlutut dan berdoa, kata-Nya : "Ya, Bapa-Ku, jikalau Engkau mau, ambillah cawan ini dari pada-Ku; tetapi janganlah kehendak-Ku, melainkan kehendak-Mu lah yang terjadi." Dalam bagian ini, dicatat Yesus berlutut dan berdoa.
Matius melukiskan kejadian ini dengan kalimat, maka Yesus maju sedikit, lalu sujud dan berdoa (Matius 26:39). Sementara Markus menggambarkannya dengan lebih detail. Yesus maju sedikit, merebahkan diri ke tanah dan berdoa supaya, sekiranya mungkin, saat itu lalu dari pada-Nya (Markus 14:35). Sekali lagi, peristiwa yang dicatat di dalam ketiga Injil sinoptik ini adalah peristiwa yang tidak pernah dicatat di dalam bagian lain dari Alkitab. Peristiwa yang hanya dicatat sekali dan satu-satunya di dalam Alkitab. Pergumulan apa yang membuat Yesus sampai perlu berlutut, sujud, dan merebahkan diri ke tanah?
Malaikat
Malam itu di Getsemani, Yesus bergumul sendiri, Yesus merasa begitu sedih seperti mau mati, Yesus juga berlutut, sujud dan merebahkan diri. Seakan belum cukup dengan itu semua, Alkitab bahkan melukiskan pergumulan Yesus lebih dalam lagi. Setelah Yesus berdoa, Lukas menceritakan bahwa seorang malaikat dari langit menampakkan diri kepada-Nya untuk memberi kekuatan kepada-Nya.
Kehadiran malaikat membuat Yesus menjadi sangat ketakutan dan makin bersungguh-sungguh berdoa. Dari ketiga Injil kita menemukan fakta bahwa Yesus berdoa tiga kali dan menaikkan doa yang itu-itu juga, Ya Bapa-Ku, jikalau sekiranya mungkin, biarlah cawan ini lalu dari pada-Ku, tetapi janganlah seperti yang Kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki. Lukas 22:44 menambahkan, peluh-Nya menjadi seperti titik- titik darah yang bertetesan ke tanah.
Lukas yang seorang tabib, mampu menjelaskan peristiwa bercampurnya keringat dan darah Yesus ini dengan rinci di dalam kitab yang ditulisnya, sementara kacamata awam dari Matius dan Markus gagal menangkap hal ini. Penelitian di dalam literatur dunia medis menjelaskan, situasi yang dialami Yesus dikenal dengan istilah hematidrosis atau hemohidrosis (Allen, 1967 dalam The Skin: A Clinicopathological Treatise, pp. 745-747).
Kondisi ini adalah peristiwa keluarnya darah melalui kelenjar keringat seseorang yang disebabkan oleh kondisi stres yang sedemikian besar . Selama satu abad terakhir, dilaporkan terjadi 76 kasus hematridosis yang berhasil dianalisis dan diklasifikasi. Faktor utama penyebab hematridosis adalah "Rasa takut yang akut dan pergumulan mental dan emosional yang mendalam" (Holoubek and Holoubek, 1996 dalam Blood, Sweat, and Fear. 'A Classification of Hematidrosis ).
Pembacaan Alkitab selanjutnya memberikan jawaban yang jelas mengenai apa alasan dan penyebab Yesus mengalami semua hal di atas tadi. Semua penderitaan dan pergumulan berat yang dialami-Nya di taman Getsemani yang dingin itu adalah karena Yesus harus menghadapi cawan murka Allah atas dosa-dosa yang telah diperbuat manusia sejak zaman Adam dan Hawa. Rasa cinta-Nya yang begitu dalam kepada kita para pengikut-Nya membuat-Nya rela mengalahkan kehendak-Nya sendiri dan tunduk pada perintah Bapa di surga untuk mati di kayu salib menjadi tebusan bagi kita semua.
Bertentangan dengan cerita umum bahwa kekalahan dan kematian menunjukkan kegagalan, peristiwa penyerahan diri Yesus di taman Getsemani justru memberi hasil akhir berupa kemenangan yang gemilang. Ibrani 5:7-9 menyampaikan berita kemenangan di dalam kematian-Nya, Dalam hidup-Nya sebagai manusia, Ia telah mempersembahkan doa dan permohonan dengan ratap tangis dan keluhan kepada Dia, yang sanggup menyelamatkan-Nya dari maut, dan karena kesalehan-Nya Ia telah didengarkan. 8 Dan sekalipun Ia adalah Anak, Ia telah belajar menjadi taat dari apa yang telah diderita-Nya, 9 dan sesudah Ia mencapai kesempurnaan-Nya, Ia menjadi pokok keselamatan yang abadi bagi semua orang yang taat kepada-Nya, 10 dan Ia dipanggil menjadi Imam Besar oleh Allah, menurut peraturan Melkisedek.
Masih mencari pemimpin idola untuk pilkada dan? Gitu aja kok repot? Cari dong pemimpin yang seperti Yesus! Semoga.

Tidak ada komentar: