Jumat, 26 Juni 2009

Khotbah

I.Pendahuluan
Di dalam Gereja yang menganut aliran Lutheran, kotbah adalah merupakan “puncak” dalam tata ibadah Minggu. Kotbah dalam B. Yunani adalah: “όμέλέτίκα”, yang artinya: bercakap-cakap (Luk. 24:14). Dalam injil Lukas inilah pertama kali disajikan kata yang berhubungan dengan kotbah itu.
Kotbah adalah berbeda dengan pidato, walaupun perbedaannya hanya dalam satu bagian saja. Kotbah, yaitu: penyampaian yang disampaikan di depan khalayak ramai tetapi memiliki nuansa / warna agama, sedangkan pidato tidak demikian. Di dalam kotbah, haruslah kita ingat: bahwa dalam kotbah haruslah terdapat di dalamnya “berita keselamatan” (Injil) bagi yang mendengarnya. Juga, di dalam kotbah kita harus mampu menunjukkan atau mengarahkan orang yang mendengarkan kotbah kita sehingga dia dapat memilih jalan (mengalami pelepasan secara rohani) yang benar dalam pergumulan hidupnya, ketika dia mendengarkan kotbah yang kita kotbahkan.
II.Kotbah dan Pengkotbah
Banyak orang Kristen yang berbicara tentang kehadiran Kristus yang sungguh-sungguh dalam sakramen Perjamuan Kudus. Apakah kita tidak dapat juga menemukan kehadiran Kristus yang sungguh-sungguh dalam peristiwa kotbah? Dengan demikian kotbah (juga termasuk Pengkotbah) adalah suatu hal yang “terhormat”, walaupun pada suatu hari kotbah (juga Pengkotbah) bisa menerima ejekan publik – hal ini haruslah dapat kita terima, karena kita adalah orang yang berada di depan sehingga kita menjadi sorotan untuk “dikagumi” bahkan “diejek” -.
Secara mendasar, kotbah adalah memerlukan persiapan bagi sang Pengkotbah. Adalah hal yang sangat mustahil jika seorang pengkotbah tidak memiliki persiapan dalam penyampaian tugas yang “suci dan terhormat itu”.
Dalam persiapan kita, ketika kita mempersiapkan memberikan “nasehat” kepada orang lain, kita tentu saja mendapat bimbingan untuk hidup kita sendiri. Kita belajar untuk menghadapi sikap mementingkan diri, ketamakan, godaan, ego, dan kehidupan nyata lainnya, yang berkaitan erat dengan pergumulan dasar kita. Ketika kita mempersiapkan diri untuk memberi nasehat kepada orang lain, “kita memperoleh pemahaman tentang bagaimana kita harus mengambil sikap dan tindakan”. Kita belajar siapakah diri kita dan bagaimana “hubungan kita dengan Allah yang memanggil kita untuk berkotbah dan menjadi pengkotbah”
Ketika kita mempersiapkan diri untuk berkotbah, kita “disegarkan, difokuskan kembali, dan diingatkan” tentang prioritas kehidupan kita. Hal tersebut haruslah memperbaiki cara kita “mengasuh anak, memperbaiki hidup perkawinan kita, dan juga menanggulangi kesendirian kita.
Satu hak yang mengherankan secara nyata tentang kotbah ialah bahwa kita mungkin menjadi “lebih baik” pada waktu itu, daripada kemungkinan manusiawi lainnya. Ini merupakan pekerjaan Roh Kudus yang menyelimuti kita dan mengangkat kita. dengan kata lain, kita diangkat dari keterbatasan manusiawi kita untuk mengalami getaran jiwa Allah yang “mengambil- alih dan berbicara” melalui kita.

III.Kesimpulan
Kalau kita berperan sebagai seorang pengkotbah, yakinilah dalam hati dan yakini dengan iman bahwa Allah melalui parhalado Gereja-Nya menyampaikan tugas yang mulia itu kepada kita. Dengan kata lain, saat kita menjadi penyampai acara puncak dalam ibadah kita di Gereja (terkhusus HKI), kita dapat memperoleh kepuasan besar menjadi Pengkotbah dan mempunyai panggilan untuk berkotbah.
Hal yang paling penting adalah: “berkotbah adalah pertanggungjawaban yang mengagumkan, karena kita menjadi saluran dari Kristus yang telah menjadi manusia yang hadir di dalam perhimpunan orang-orang yang percaya. Biarlah kiranya dengan apa yang kita kotbahkan nama Allah semakin dipermasyurkan.

Tidak ada komentar: